Minggu, 17 Mei 2020

PUISI PERJUANGAN_sajak pemberontakan


1- Genderang Perang

Jerit tanah yang menganga
Melontarkan aroma kembang menebar keminyan
Amis bau nanah sepanjang nusantara
Bagai menabur geliat debu panas di tengah gurun.

Pekik batu yang melapuk
Remuk ditikam belalak
Segenggam abu terbakar
mengerang di wajah-wajah leluhur
Menghembuskan nafas geram
Diantara rumput hijau bekas tersiram darah.

Teriak air beriak menggertak guntur di langit
Mengundang turunnya hujan dan cambuk halilintar
Gelegar-menggelegar di ubun-ubun mimpi..
Tabuhkan genderang perang di ceruk jantung
Untuk mebayar hutang darah yang tumpah tak berharga.

Raut muka yang kusam
Tak sanggup lagi menahan dera
Ia acungkan telunjuknya ke langit
Dan menyelupkannya ke dasar laut
Lalu mengasahnya pada taring Gajah Mada
Kepada tanduk Hayam wuruk
Kepada cakar Ayam Jantan dari timur
Hingga lahir Sumpah Pemuda.

Tanah airku...
Larut dalam ronta kepalan tangan dan barisan prajurit
Ini tulangku sendiri...
Ini darahku sendiri...
Terbungkus dagingku sendiri...
Semuanya untukmu merah putihku.

2- Sekali Merdeka Tetap Merdeka

Ludah yang terbuang pantang kembali pulang
Sekali meradang tetap menerjang
Sekali merdeka tetap merdeka
Tak peduli patah tulang ataupun tubuh berlubang
Bahkan ancaman kematian tak ku hiraukan.
Merdekaaa...

Sungai-sungai dan jembatan memerah
Gunung, hutan, dan lautan terlihat gundah
Di jalan dan alun-alun mayat-mayat berserakan
Jantung itu sepi.. menjadi kota mati.

Baju pertempuran terseok diterpa kemalangan
Berlumpur darah menumpuk riuh di raut kekasih.
Air mata yang tersisa meneteskan sumpah
Lebih baik mati berkalang tanah
Dari pada hidup menjadi sampah.

Bumi rata dengan kebisingan tembang kelana
Syair-syair pewayangan berirama sabda
Mengalir dari keriput seorang kakek tua
Seruan rokh-rokh leluhur berbunga.

Hari ini..
Sajak-sajakku bergerak mencarimu
Untuk menyatukan mimpi-mimpimu yang masih mengambang.

Di sini...
Aku temukan Ajeng Kartini tersenyum pucat
Dan Ki Hajar Dewantara enggan menatap wajahku.
Entahlah...
Apa gerangan pikirkan..?

Di sudut yang lain
Aku temukan Pangeran Arya Wiraraja tertunduk lesu
Dan Jenderal Soedirman masih bertahan dalam tandu
Entahlah...
Apa gerangan pikirkan..?

Aku malu dan terpukul
Sepuluh jemariku menghujani wajah
Setelah aku tahu mereka kecewa
Ketika kemerdekaan ini dikira kebetulan saja.

3- Perjalanan Bangsa

Oowwhhh sayang..
Tatap mataku..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang perih melihat kekejaman perang
Terbayang bagaimana sakitnya terpisah dengan orang tersayang
Bagaimana rasanya berselimut ranjau berguling granat
diseret seperti binatang
Pedihnya daging dikuliti
Perihnya delapan puluh ribu anak-anak kelaparan
Dirantai
Dicambuk
Disilet
Dilindas
Dicabik-cabik
Rasanya mati perlahan-lahan
Rasanya merobek nadi
Rasanya jari terputus
Rasanya disiram air keras.

Tatap mataku kawan..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang berbinar-binar melihat kekayaan negeri
Tiba-tiba menghilang dalam kantong gratifikasi
Pohon jati, pohon ulin, dan isi perut bumi
Lenyap hanya dalam satu sasi

Tatap mataku pakk..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang lelah oleh kantuk semalam menghitung bintang-bintang
Tak satu-pun bersinar dengan cahaya terang
Terlena janji hujan kepada rerumputan
Seperti yang dijanjikan saat bergantung di pohon dan di pinggir jalan.

Tatap mataku pakk..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang bosan melihat perjalanan bangsa yang baru melangkah
Kemunculan manusia doraemon dari balik beton
Menimbulkan jerit keluh terlontar di belakang plat merah
Pergeseran nilai-nilai kepahlawanan ambyar edan.

Tatap mataku..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang lepek oleh hukum yang tumpang ketimpangan
Keputusan seperti mata linggis yang jatuh dari langit
Tak mungkin ditangkap oleh tangan-tangan berkarat.

Mataku semakin penat
Menyaksikan penjara tanpa jerat
Hukuman seperti sambal bakso
Tanpa jera tetap berleha-leha
Setahun menderita seabad sejahtera.

Tanah air ini terus menerus tergerus
Rumah kecilku menyimpan tikus-tukus besar
Bangsa ini dipreteli semaunya saja
Dengan memelihara kucing anggora.

4- SAJAK PEMBERONTAKAN

Aku adalah setetes sajak..
Sajak yang beriak dari peluh nenek moyang
Sajak yang tak mau diam dalam kemunafikan.
Karena sajakku adalah pemberontakan
Melawan bromocorah-bromocorah adipati
Melawan denawa-denawa senopati
Penyamun kekuasaan
Begal kemerdekaan dan keamanan.

Adigang...  Adigung... Adiguna...

Aku tak bisa membayangkan
Bagaimana jadinya negeri ini bila dikuasi bromocorah dan denawa
Keamanan dan kemakmuran tertutup laporan
Kesejahteraan dan keadilan hanya di layar kaca.

Gelap mataku
Buta matamu
Gatal mata kelilipan mata uang
Main cara main mata
Pasang mata dimana-mana.

Dalam pertempuran ini kau boleh teriaki aku kalah
Kau boleh tudingkan telunjukkmu ke mataku
Tapi, ada sesuatu yang perlu kamu ingat
Aku adalah sarang jiwa manusia-manusia lemah...
Darinya menetaskan ribuan sajak...
Menyelami kedalaman pikiranmu
Yang memuntahkan bilur-bilur kebosanan.

Ooohhh...
Kemana mereka yang mengaku pahlawan?
Yang katanya siap mengabdi mengisi kemerdekaan?
Dimanakah santun sapamu kepada bangsa?
Kecuali..
Santunan siapa lagi yang belum tiba
Gonjang-ganjing peraturan kolot
Dibawa saku rekening gendut
Serta kebijakan atas paduan suara kolega
Sanak famili... dan keluarga...

Kemana mereka yang mengaku patriot
Yang katanya berdaulat kepada rakyat?
Dimanakah mereka bersembunyi
Di saat jati diri bangsa terombang ambing keraguan
Antara menjadi warga negara yang utuh
atau berketuhanan yang patuh..?

Oooohhh...
Kemanakah mereka yang bangga dengan kidung ibu pertiwi?
Yang katanya lebih elok dari pada suara adzanku?
Dimanakah gemulai gerak tarian iramanya?
Yang katanya semurni puja kepadanya.?
Di saat bangsa ini menjadi boneka hello kitty
Mereka hanya mengangguk-ngangguk
Geleng-geleng kepala
Menganga serupa catut di atas meja.

Dimanakah kalian semua
Keluarlah...
Sapalah pahlawan-pahlawan bangsa
Yang enggan menjawab salamku.

Sumenep, 4 Agustus 2020

Karya: Zaini Dawa

Tidak ada komentar:

RAPUH

Puisi Prosais (Zaini Dawa) Bisaku tawar dalam sunyi Lenyap sapa ronta aksara Tampak rupa kurasa hilang kujaga Betapa rapuhnya aku menanggung...