Senin, 08 Februari 2021

KUMPULAN PUISI SAJAK PEMBERONTAKAN (koleksi 100 puisi cinta)


Daftar isi.

001. ZAMAN BATU

002. Negeri Di Balik Api

003. Cinta Dan Kematian Penyair

004. Rindu Apa Ini

005. Negeri Jangkrik

006. Negeriku Negeri Tikus

007. Bila Money Politik Dihalalkan

008. Masakan Ibu Pertiwi

009. Permen Poli Tikus

010. Keringatku Lebih Wangi

011. Bumiku Di Musim Saweran

012. Petik Bintang Jatuh Rembulan

013. Mencari Muka

014. Derama Cinta Babi Buta

015. Riuh Dalam Sunyi

016. Corona Dalam Sajak Tuhan

017. Isolasi Romadlan

018. Rindu Menangis Lagi

019. Panorama Indah Berbuah Lebat

020. Sumpah Amukti Palapa Sumpah Pemuda

021. Harga Darah Pejuang

022. Sajak Pemberontakan

023. Penjajahan Belum Berakhir

024. Reaksi Bom Hiroshima Nagasaki

025. Tak Akan Lunas Terbayar

026. Dalam Tempurung

027. Do'a Dan Harapan

028. Dermaga Perpisahan

029. Pesan Perpisahan

030. Mengenang Jasa Guru

031. Kidung Perpisahan

032. Kasih Ibu

033. Nawala Cinta Seorang Anak Kepada Ibu                 

034. Aku Mencintaimu Melebihi Batas.

035. Anugerah Terindah

036. Cinta Sejatiku

037. Terpaksa Aku Iklas.

038. Pengkhianatan Cinta

039. Sendiri Kesakitan

040. Masih

041. Bunga Layu Dalan Kaca

042. Sahabat DUMAY

043. Air Mata Bianglala

044. Rindu Berat

045. Tumitmu

046. Bunga Dalam Kaca

047. Tak Sampai

048. Alasanku Mencintaimu

049. Engkau Tulang Rusukku

050. Teriak Mesra

051. Surat Kecil Untuk Kekasih

052. Jera Jatuh Lagi

053. Cinta Dalam Sepenggal Mimpi

054. Gejolak Rinduku

055. Cinta Berujung Sembilu

056. Titik

057. Aku Dan Puisiku

058. Cintaku Yang Remuk

059. Tertambat Pengkhianatan

060. Sepi Menjemput Air Mata

061. Rapuh Dalam Raga

062. Bunga Surga

063. Tinggal Kenangan

064. Geliat Langit Senja

065. Terhalang Daun Seranting

066. Mencintaimu Dalam Gelap

067. Tak Sanggup Menyapamu

068. Rindu Terlarang

069. Sang Pemuja

070. Nafas Kehidupan

071. Cinta Yang Tertunda

072. Rindu Yang Tertinggal

073. Senyummu Membunuhku

074. Rindu Berdarah

075. Ingin Selalu Menemanimu

076. Pilihan Ganda

077. Terhalang Kanvas Kaca

078. Satu Jam Seribu Satu Malam

079. Piara Liur

080. Maafkan Aku

081. Siapa Aku

082. Beliung Rasa

083. Jerat Percintaan

084. Mawar Berduri

085. Perjuangan Yang Sia-sia

086. Cinta Gila

087. Dilema Duri Berbunga

088. Rintihan Burung Elang

089. Menunggu Sebuah Janji

090. Aku Tak Ingin Pergi

091. Bidadari Tersembunyi

092. Mawar Tumbuh Di Atas Batu Nisan

093. Bayanganmu

094. Melupat Tatal Duka

095. Pemuja Cinta

096. Menimbang Rasa

097. Membungkus Riak Rasa

098. BALADA CINTA

099. KUDETA CINTA

100. Gegger Tak e Ocol

 

 001. ZAMAN BATU

Engkau yang terlahir dari batu
Ditempa manusia-manusia batu
Tanduk berpamor
lidah becabang
Menyepuh paku
pada batu-batu kampung.

Engkau telah menjadi batu.
Kembali melahirkan batu 
Sejak zaman dahulu
Dan hari ini masih zaman batu.

Ketika manusia pilihan menjadi batu
Diagungkan manusia-manusia batu
Tidak ada lagi benih bunga-bunga disemaikan
Tidak ada lagi kitab-kitab dimunculkan
Keadilan disesuaikan dengan selera
Aturan dimainkan sesuai rencana.

Ketika manusia pilihan menjadi batu.
Diagungkan manusia-manusia batu
Hilang akal sehat
Hilang budaya
Hilang norma
Kedzoliman berbaris rapi dihadapan batu-batu
Semuanya membisu
Semuanya membatu
Seolah-olah itu biasa
Sebab sama-sama
memiliki cerita
yang sama.

Hari ini...
Bangsa menghadapi zaman batu
Zaman yang penuh keruwetan
Zaman yang penuh kerepotan
Bangsa-mana yang tidak ketakutan
Menyaksikan kekuatan mengundang keributan
Dan kekuasaan memancing perselisihan

Oo.. zaman batu
Kau akan hancur di tangan orang gila
Orang yang tidak takut dihantam batu
Tidak pula manusia-manusia batu
Dia datang bersama pengembala ranting
Juga batang-batang pohon kering
Punya nyali membakar puji
Bongkar pengkhianat bakti
Tanpa senjata
Tanpa azimat
Tanpa prajurit
Lidahnya berapi
Ucapannya terbukti
Membangkang berani mati.


002. NEGERI DI BALIK API

Cintamu...

Bersemi di balik api

Liar menjalar

Berkobar menebar abu jahannam di negeriku.

Keringat bicara api

Air mata bicara api

Tangan bicara api

Api membara keji beraksi

Kanibal elit memangsa bangsa sendiri.

Hutan-hutan sepi kicau burung

Pasar-pasar sepi pengunjung

Gunung-gunung ditinggal petualang

Dan ranting-ranting kering

adalah selingkuhanmu menangkis tuding.

Ego menyala

Serakah membara

Cintamu membakar aroma do'a

Hilang pura-pura

Dusta berganti.

Engkau bersiul

Tenggelam kenikmatan

Larut ke dalam secangkir kopi hitam

Sisa permainan api semalam.

Aku mengorek tumpukan abu yang terpanggang

Di sini ku temukan

Cintaku hangus

Rinduku hangus

Mimpiku hangus

Harapanku hangus

Kebenaran hangus

Keadilan hangus

Dilalap sumpah yang tidak becus

Dan urat malumu yang terputus.

 003. CINTA DAN KEMATIAN PENYAIR


Inilah aku

Sesosok tubuh yang tak dihendaki penguasa

Inilah aku

Bait-bait puisi yang ditulis dari nyawa manusia

Ditendang sepatu pantofel

Dihantam batu amoral

Perkenalkan..

Aku seekor burung hantu yang berkali-kali mati

Lalu hidup lagi

Berkali-kali terbuang

Lalu kembali berjuang

Sebab aku mencintaimu.

Perkenankan aku berkicau riuh

Menari-nari menyaksikan tawa bodoh

Memburu gemuruh rentak kepalsuan

Karena diamku adalah kematian

Perkenankan aku menggoyang pohon yang berbuah lebat

Sekalian aku kumpulkan menjadi sajak bermata celurit

Karena diamku adalah kelaparan.

Tanganku gemetar diatas tanah pengecut

Menyaksikanmu dalam kondisi gawat darurat.

Aku tak perlu mengisap cerutumu

Karena aku lebih memilih duduk bersama mereka

Sekalipun terluka

Sekalipun terasing di rumah sendiri

Dari pada menyaksikan bercak darah esok pagi

Sebab aku mencintaimu.

Saksikanlah wahai generasi bangsa

Bagaimana bapakmu beringas seperti setan

Bagaimana pamanmu diamuk tanpa ampunan

Bagaimana kakakmu ganas melawan.

Tubuh yang kokoh

Penuh wibawa

Seenaknya melonggarkan kain kematian

Mengerahkan cakar di balik dingding

Menembus kulit, daging, dan jantung.

Mulut mengumpat

Seperti mulut orang-orang terhebat

Tangan menampar

Seolah-olah peluru nyasar

Kaki menerjang

Sekan-akan kekuasaan itu warisan nenek moyang.

Kalian pikir..

Kematianku adalah kemenanganmu

Oohh.. tidak

Aku akan bangkit

Dan melahirkan ribuan prajurit

Dari setiap diksi yang kubangun

Pujangga bangsa pancasona tanah air

Abadimu...

Abadiku...

Bergulir larut dalam darah penyair.

004. RINDU APA INI

 

Kata yang sering terucap dalam sunyi

Terdiam merintih di tempat sampah

Keributan manusia seolah-olah tidak dimengerti

Engkau menghilang tinggalkan perih.

Cintamu diusung semut

Rindumu dikerumuni lalat

Engkau tersesat di jalanmu sendiri

Lalu kau ketuk pintu rumahku lagi

Untuk apa?

Cukup aku saja yang merindukanmu

Sebab disini masih kemarau

Sementara

Tenda yang kudirikan di bawah pohon gaharu

Masih memberi kesejukan asa dan hangatnya musim lalu.

Bila cintamu tertukar di atas permadani

Dan janji-janjimu hanyalah sebuah alibi

Untuk apa engkau sebut itu rindu

Cukup aku yang merasakan suka dukanya menunggu.

Cukup sekali ini saja aku salah memilih

Harapan sejahtera pengkhianatan diraih

Terimakasih....

Rindu ini telah kutulis pada gemuruh angin

Biarkan ia bercerita pada setiap kota yang di laluinya

Biarlah mereka semua mengabadikan

Menulisnya kembali pada cadas pusara.


005. NEGERI JANGKRIK

 

Kisah seekor kancil di sebuah republik dongeng

Ceritanya menggelikan anak kecil

Ia tertangkap basah mencuri mentimun

Pak tani geram

Membidik maling besar di lubang jarum

Si kancil malah tersenyum

Pak tani terbuai kagum

Sandera tawa menawan tenggang rasa

di lantai abdi tahta menyapu bersih kotoran telinga

Mencuci tangan di dalam kantong plastik

Senyum berpapasan dilirik mata jangkrik

Mereka berbisik seramah adat ketimuran.

"Ello ngerti gue paham"

"Ello diam kita makan"

"Ello teriak gue hantam"

"Ello maksa kita busuk bersama"

Aku butuh selembar pinta

Dan engkau punya selipat dusta

Pangkas sini tilap sana

Lalu kau sembunyikan di dalam saku celana

Seribu cara kelabuhi daya dan upaya

Ahh... itu tidak apa-apa,

yang penting kita bisa berleha.

Kita kenyang biarlah mereka berpuasa

Kesepakatan tak bermatrai

Tersembunyi megah di balik tirai

Saksi mata dibuat gerah kepanasan

Perintah dan larangan, janji dan ancaman

berputar-putar mencari pentilasi

di ladang reputasi birokrasi

Media massa menelanjangi mata manusia

Kitab dan undang-undang dibiarkan tersingkap terbaca angin

Hingga mata tak lagi lihai memainkan pena di udara

Sebelas dua belas tikus dalam gudang raskin

Pengawas dibikin waswas

Petugas disuntik beringas

Pengacara banyak cara

Penguasa makin leluasa

Rakyat jelata tetap saja melata...

Lunas boss..


006. NEGERIKU NEGERI TIKUS

 

Pak...

kau berdasi bukan karena hebat

Tp, karena kamu mampu membeli nurani rakyat.

Pak..

Kau berdasi bukan karena luar biasa

Tp. karena kau pengecut mencuri data

Lalu kau menagihnya kembali dengan kekuasaan

Korupsi merajalela tertangkap tangan

Jadilah negeri ini negeri tikus

Kau nahkodai negeri ini dg keserakahan

Uji coba aturan yang kau buat berbuah kekerasan

Kami mencoba menyuarakan kebenaran

Tapi kau anggap arogan

Kami pemilik bangsa indonesia

Darah kami terbakar

Melihat saudara-saudara kami yang memperjuangkan nilai-nilai pancasila

Menyelaraskan aturan agama dan negara

Harus melawa water canon..

Tembakan gas air mata...

Sadisnya amukan petugas..

Jadilah negeri ini negeri tikus

Kapan suara kami akan terdengar

Bila suara kami kau anggap provokator

Lebih baik lepas dasimu

Daripada memcuci darah warga,

                   mahasiswa,

                   polisi,

                   tukang parkir

                   Buruh

Dan seluruh lapisan masyarakat yang peduli keadilan dan kebenaran.

Jadilah negeri ini negeri tikus

Negeri ini tidak butuh orang pintar

Pintar mengotak atik undang undang dasar

Negeri ini tidak butuh manusia kerdil

Yang takut undang-undang hukum pidana yang sudah ada

Jabatanmu tinggi tapi hargamu rendah

Pengetahuanmu luas tapi bodoh

Sebab otak kau taruh dalam perut

Jadilah negeri ini negeri tikus.


007. BILA MONEY POLITIK DI HALALKAN

 

Berdandan di langit

Berkaca pada air laut

Menghiasi diri dengan polesan citra

Aroma senyum terlempar ke jantung udara

Menutupi cahaya matahari dan lubang-lubang revolusi

Kesedihan binatang melata meneteskan air mata dua kali

Diguncang degup jantung bumi yang bergejolak di dalam perut ibu pertiwi.

Sepayah ini kah bangsa ini..!!?

Bila tidak ada yang lebih mewah dari pada cabang lidah

Cerita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Tersembunyi azas bilah bambu di semak-semak belukar

Sebodoh ini kah bangsa ini..!!?

Bila bendera menancap di ubun-ubun menusuk sendi-sendi kerabat

Meregang ikatan tali kasih yang erat merekat

Hingga tulang-tulang lebih renyah dari pada daging

Permusuhan tumbuh subur di setiap pagelaran pesta demokrasi

Linggis tegak mencari solusi

Celurit meliuk keluarkan resolusi

Semiskin inikah negeri ini..!!?

Bila money politik dihalalkan

Rakyat kecil makan raskin

Panguasa makan semen

Harga murah di mulut mahal di timbangan

Lantaran memperjual belikan takdir

Seharga nasi bungkus di trotoar

Separah inikah negeri ini..!!?

Bila penjara lebih mewah dari pada rusunawa

Hingga lapas lebih menjamin kemakmuran kolega...

Rekan kerja...

Sahabat dan keluarga...

Oohhh bangsaku, bangsa Indonesia...

Menangislah..!!

Selagi air mata mampu menggoyang rumput yg tak diharapkan tuan-tuan berdasi

Berteriaklah...!!

Selagi suara mampu menahan luka

tancapan batang bendera di rumah kura-kura

yang dikibarkan politisi di ubun-ubun kepala

Menjeritlah...!!!

Sekuat amarah menekan kebebasan bersuara

Seribu delapan ratus hari jalani tapa brata

Untuk menyumpal janji-janji mulut sumur tua.


008. MASAKAN IBU PERTIWI

 

Ibu pertiwiku tersenyum tua

Memasak di dapur untuk anak-anaknya

Yang hendak pulang kerja

Hemm..

Cucur keringat mengaroma di tubuhnya

Sedapkan makanan kesukaan mereka

Mereka pun datang petangtang-petenteng berdasi

Duduk di kursi bersama rekan koalisi dan oposisi

Lalu makan selahap-lahapnya seperti besok mau mati

Ibu pertiwiku hanya gigit jari

Melihat maknan habis sisanya dikemasi

Masuk ke dalam rangsel lalu pergi lagi

Ibu pertiwiku tersenyum tua

Memaksa diri untuk memasak lagi

Untuk anak-anak yang masih sekolah SD

Kali ini masakannya tidak sesedap tadi

Karena peluh keringatnya sudah habis untuk mewangi

Oh, Ibu pertiwiku...

Aku anak bungsumu ingin tertawa

Hahaaa...

Sepuas ragaku menganga hahahaaa...

Tapi, hanya aku yang tau lucunya

Mereka pasti menganggapku gila

Padahal kegilaanku tergelitik tingkahnya

Yang menghabiskan makanan hingga tulang-tulangnya tak tersisa

Ibu pertiwiku..

Anjing dan kucingmu kurus sekali

Mereka kurang vitamin dan gizi

Makanannya dijarah setiap hari

Oleh mereka, anak sulungmu yang suka makan argumentasi.


009. PERMEN POLI TIKUS

Di tengah terik matahari dan taufan

Batang-batang lapuk jadi rebutan

Pasang senyum di pinggir jalan

Anggun indah bergelantungan

Santun sapa bertapak tangan besan.

Perempatan paling strategis

Tiang listrik pajangan gratis

Tembok tua pilihan nian gelis

Keriput kertas ber-irama romantis

Dalam perselingkuhan janji-janji manis.

Tak lesu sapamu mohon restu

Pada setiap manusia yang berlalu

Semangat juang membungkus malu

Tak keluh bila sapa terabaikan

Tetap tegar tawarkan permen rayuan.

Semut-semut penasaran itu permen apa

Dibungkus warna-warni bendera

Enaknya hanya di telinga saja

Mengandung pemanis dan pewarna

Yang dapat mencemari cita-cita bangsa.

Anak-anak kecil yg berlalu

Menyambutmu dengan haru

Berduyun-duyun mendorong mobilmu

Lalu berkata "dia adalah tuan baru"

Pemilik produk PERMEN berkutu.


010. KERINGATKU LEBIH WANGI

 

Hari ini

Ku petik matahari

Ku remas jadi bulan

Lalu ku gelar jadi sapu tangan.

Ombak laut ku gulung

Awan hitam ku retas

Tulang-tulang ku banting

Sekuat keringat ku peras.

Sudahlah...

Tak usah kau sihir aku dengan rayuan.

Dengan bujuk rayu syetan

Keringatku lebih wangi

Dari pada parfum yang kau beli

Keringatku lebih berbunga

Dari pada petuah-petuah

Yang berkarat di ujung lidah

Dan meregang di lebat rimba

Sudahlah...

Jangan kau tabur kerikil neraka

Dengan sesuap iba

Ketulusanmu melalap paradigma

Miris terbakar empuknya kursi kehormatan

Tak pelak jiwa ini merogoh sukma seekor bunglon

Selamanya melata....

merangkak....

tertekan

Menjadi penakut yang dihianati

Oleh pengecut yang dicintai

Sudahlahhh...

Tak usah kau pura-pura menjadi abdi

Keringatku akan menjadi selimut di musim hujan

Dan menjadi mata air di musim kemarau.

Aamiin...


011. BUMIKU DI MUSIM SAWERAN

 

Bumiku berbisik pada rumput yg bergoyang

Tentang rupa yg menghilang

Sebelum bendera dikibar setengah tiang

Mantra kemenyan tercium roh nenek moyang

Mengepul di bias malam

Berasap api dalam sekam

Membara dipundak cucu sakera

Baunya anyir membusuk berbagi neraka.

Kibas-kibas selendang bertabur pandang

Gemulai Mengikuti tabuhan gendang

Sinden menari menyusuri permainan

Menebus mahalnya harga senyuman

Saweran berbunga mawar

Bersemi menyerang fajar

Dalam sapa bertaruh mahar

               Teror

               gempar

               Menggelegar

               Duaaarrrrr....

Rekayasa memaksa berpura-pura

Terpojok dihimpit beratus sabda

Hari ini diundang

Besok lusa terbuang.

Burung-burung riuh berkucau berebut tetes air hujan

Yang dijanjikan guntur silam kehausan

               Taruhan

               Suguhan

               Hadiah

               Sedekah

Melebur menjadi seliut saweran

               Wallahu A'lam....


012. PETIK BINTANG JATUH REMBULAN

 

Letih. . . .

Ku menata hati dg serpihan kasih.

Sedih. . . .

Ku mengintip namamu dari bilik putih.

Bunga-bunga segar kini gugur di tengah jalan

Seperti memetik bintang jatuh rembulan.

Dulu. . . .

Janjimu manis seperti madu.

Kini. . . .

Madumu menjadi racun di hatiku.

Satu persatu urat nadiku terputus

Oleh senyummu yg pura-pura tulus.

Nyamuk-nyamuk nakal saja dapat menista

Dengan memeluk dekap yg setia

Dan menindas kutu-kutu berbisa.

Kata-katamu ku anggap bertuah

Kau tunjukkan segala arah

Tumit-tumit kasar-pun beranjak melangkah

Mengikuti telunjukmu yg tajam penuh darah

Sementara mulutmu tersenyum

Saat mataku terpejam.


013. MENCARI MUKA

 

Sebenarnya..

Aku sudah lama aku tidak mempercayaimu

Aku pura-pura saja mengagumimu

Aku hanya mencari muka

Seperti engkau dulu mencari muka

Di depan pemuka-pemuka desa

Bagaimana aku bisa mempercayaimu

Sedangkan engkau seperti udang di balik batu

Berlagak seperti katak memikul kerbau

Mana bisa sayang...!?

Bagaimana aku tidak berburuk sangka

Bila rupamu rupanya berupa-rupa

Tutur bahasamu melebihi rayuan remaja

Empuknya seperti kursi yg kau duduki disana

Menjanjikan kemilau emas berlian

Menjamin kemewahan menu beragam varian

Waahhh... mana bisa sayang...!?

Di mataku

Engkau hanya pencari suaka

Engkau kemari hanya mencari muka

Aku pun pura-pura bego mencari muka

Kita terlalu jauh dari tulus dan begitu dekat dengan apus

Mukamu romantis

Hatimu komunis

Karena itu..

Aku lebih memilih bisu dalam gejolak

Ku bikin telingamu kelak merindukan suaraku

Suara yang dirindukan petani

Nelayan, buruh, pedagang kaki lima dan kuli.


014. DERAMA CINTA BABI BUTA

 

Aku merasakan pekatnya langit

yang diceritakan para leluhur

Asap menghitam oleh persekutuan batu dan debu,

kerikil dan pasir.

Sumur-sumur kering menua

Tertimbun bangkai binatang menelan kehausan

Untuk menikmati gemulai mata air tanah ini.

Aku merasakan pekatnya langit

yang kemaren di ceritakan biyung

Daun-daun menguning

gugur sebelum berganti musim

Paru-paru bumi sesak oleh asap cerutu

Kupu-kupu tak dapat menghisap sari-sari bunga lagi

Burung-burung tak mampu mencium aroma kening bumi.

Aku merasakan indahnya langit biru

Yang kemaren diceritakan pendongeng

Para kekasihku tertawa bahagia

Bayi-bayi yang lahir langsung tersenyum

Mendengar suara mesin ATM.

Aku meyakinkan diri

Bahwa penderitaan ini

Akan berakhir sampai disini.

Tapi,

Rumahku digerogoti rayap

Yang tak mengenal apa itu kayu,

apa itu bambu, apa itu batu.

Kekasihku yang tahu itu ingin berteriak

Mengajak burung gagak memainkan irama cakarnya

Dan membilas polesan make up-nya

Karena telah membuat mimpi-mimpinya

Mengambang seperti buih dimainkan angin.

Oh kasih...

Bagaimana bisa ku hentikan matahari di atas rel kereta api

Bagaimana bisa ku cium tangan-tangan amis bercorak melati

Sementara tanganku membendung air mata anak sungai

Yang takut bermain mata di rumah sendiri.

Aku tulis cerita itu di sebuah warung

Di saat kaki mereka menggantung di bawah kursi panjang

Ditemani manusia-manusia bermata sipit

Indahnya mutiara di dasar laut

Merdunya Kicauan burung-burung

Nikmatnya suguhan susu coklat

Aroma cengkeh dan lezatnya palawija.

Mungkin terlalu banyak daging yang mereka telan

Hingga memuntahkan kotoran berbau syetan.

Di warung itu

Aku menyaksikan skenario drama cinta babi buta

Yang disutradarai seniman asal Belanda

Aku tersentak kaget

Dan hampir semaput

Tapi, hanya satu menit

Selebihnya aku menjadi bulan-bulanan puisi

Yang di teriakkan Taufiq Ismail, Chairil Anwar,  dan WS. Rendra.

Kekasihku tersenyum kesakitan

Tersebab luka lama belum jua sembuh

Dan aku tidak akan meninggalkannya sendirian

Jika kekasihku mati

Akulah pengecut pertama yang ditulis dalam buku sejarah.


015. RIUH DALAM SUNYI

Saat ini....

Tuhanku menitip salam kepada angin

Dengan bahasa yang indah dan santun..

Bersemilir meniupkan sesak meraba bumi

Dan menciumi dedaunan yang mendurhakai matahari.

Kini...

Mampuslah kau manusia dilumat sendiri

Hai para pendusta

Hai para penista

Yang telah mengotori masa

Serupa kecowa kecil dalam sepatu

Mingkem terbungkam aneh-aneh dan lucu.

Tersayat ketakutan

Terjebak keterpurukan

tangan-tangan raksasa susut mengerut

Digertak serdadu bisu hingga berlutut

Tutur sapanya yang sepi bergemuruh

Mengembalikan jiwa yang jauh nan rapuh

Dari peluk sunyi yang tertulis pada pelepah kurma

Dan terdiam kembali ke dinding rahimnya.

Seraya memahami setetes air laut

Yang menempel ujung jarum.


016. CORONA DALAM SAJAK TUHAN

 

Qaff...(ق)

Demi laboratorium dan perpustakaan

Yang mereka jadikan kebun

Para pemikir sibuk dengan penelitiannya

Hingga melupakan arsitek pengembang akal manusia.

Dan sajak-sajak yg ditemukan olehnya

Dari Qaff.. aku temukan Nun

Dalam sajak-sajak yang tidak diketahui kapan penciptaannya.

Qaff itu menggertak-kejutkan beratus negara

Mereka ketakutan yang sangat hebat

Geger bersama jarum jam yang mereka buat

Kebun-kebun mereka hangus  seperti terbakar

Ketakutan sekali...

Melebihi belalak mata Munkar

Hanya dengan serdadu-serdadu kecil

Serdadu itu menandai belalai mereka

Menutup ruang gerak dan gerbang kebajikan

Seperti menutup pintu kematian

Nun.... (نۤ)

Demi pengetahuan yang mereka banggakan

Dan ayat-ayat yang mereka dustakan

Bangsa ini seperti bonsai yang terlempar

Oleh tangan-tangan yang menyembunyikan batu.

Nun... 

Kau terlalu kecil

Untuk membinasakan kehidupan.

Kau terlalu muda

untuk melumpuhkan geliat manusia raksasa

Yang konon dunia ini hanya selebar daun kelor.

Hari ini..

Qaff dan nun menyebar

Mencari Ro' yang hilang dari dalam tenggorokan manusia.


017. ISOLASI ROMADLAN

 

Ya romadlan..

Bulan suci, bulan yang dinanti-nanti

Jiwa-jiwa yang ingin berjumpa denganmu

Melebihi rindunya kemarau pada tetes air hujan

Terbias cahaya matahari tercelup di lautan

Dan tabuhan beduk membuka tabir ma'rifat

Pada seruput pertama seteguk syari'at.

Ya Romadlan..

Bulan yang dinanti-nanti.

Hadirmu didamba orang-orang yang berjiwa tenang

Dan engkau datang pada saat bumi seperti sangkar barung

Engaku ajari kami i'tikaf dan isolasi

Serta menjalani karantina

Hanya untuk berlama-lama

denganmu.


018. RINDU MENANGIS LAGI

 

Sua terindah denganmu

Saat matahari ditelan lautan

Penantian berujung kemesraan

Hilang gugup senyum tersipu.

Kemarin, Engkau tatap tiap suapan

Dari kebahagian yang menetes di meja makan.

Kini, kau meninggalkanku, sayang

Rinduku sudah berdenyut kencang

Bilanganku tak mampu diterawang

Bila nanti tak sempat bersua lagi

Pasti seluruh dagingku seperti terkuliti.

Pantaslah aku menangisimu

Bila bayanganmu tiada semayam di dada

Bila bisikanmu tak lagi terdengar di telinga.

Demi bulan dan matahari

Aku ingin memelukmu lagi

Sebagaimana dulu hatiku kau sucikan

Oleh sentuhan paras penuh ampunan.

Demi taburan bintang-bintang

Ingin ku kecup satu kali seribu bibirmu

Hingga terbius oleh kasih sayang

Dan jatuh dipangkuanMu


019. PANORAMA INDAH BERBUAH LEBAT

 

Kini tinggal aku yang tersisa....

Dari kebaikan orang-orang yang tertinggal

Daun-daun muda begguguran sebelum waktunya

Mencoba bertahan sebelum menyesal

Titah di anggap berkarat dan tak berkilau

Tak mampu menusuk waktu menembus kalbu

Aku mau menyempu dan merayu

Memainkan lagu bukan menopang dagu

Semediku menunggu telur sampai meretas

Melukiskan sketsa mimpi di atas kanvas

Sebagian catatan hampir saja tuntas

Musnah karena secarik kertas

Biarkan, Tuan-tuan disana berbicara bebas

hancurkan prasasti memuja formalitas

Berteriak kencang dengan suara awas

Menghantam gemuruh tanya yang melintas

Asal puas tebas kualitas

Menjadi  kebanggaan bukanlah mudah

Setiap sisi tercecer titik-titik jenuh

Mengawali setiap langkah dengan basmalah

Jalani dengan ramah penuh gairah

Meng-asingkan keluh kesah merangkul petuah

Panorama indah berlalu tak terjamah

Ketentuan arah menuai masalah berujung pasrah

Malah seperti hujan jadi bencana atau berkah

Ali-alih berbasis masalah tahu-tahu berbuat ulah

Tunggu lima belas tahun kedepan

Buahnya lebat dan menakjubkan

Pahit manisnya pasti dirasakan

generasi muda kelinci percobaan

Menjadi warga negara yang utuh

atau berketuhanan yang Patuh..?


020. SUMPAH AMUKTI PALAPA SUMPAH PEMUDA

Darah bercampur nanah

Ketika derap kaki penjajah

Mendahului matahari terbit

Melangkahi nisan-nisan berwajah pucat.

Sumpahmu menggetarkan jagad raya

Kristal semangat membaja dalam dada

Merubah awan hitam menjadi sutera

menjemput kemerdekaan dengan jiwa raga.

Sumpahmu kokoh menjadi jembatan

Satukan tekad pantang menyerah

Dengan sebatang tongkat di tangan

Dan sesobek kain di kepala

Merah putih berkibar gagah

Menerobos barisan kejahatan manusia

Seru menyatu melawan sekutu pengkhianat

Ikrar ksatria melawan penjajahan

Tidak kuatir dengan apa itu meriam apa itu geranat

Sebab kematiannya adalah kehormatan

Sebutir debu di ujung peluru

Direbutnya kembali dengan gagah berani

Itu harga diri

Harga mati

Dari pada menjadi babi di kandang harimau

Oo...

Sumpahmu tidak main-main

Ikrarmu bukan main-main

Tekadmu bukan main-main

Perjuanganmu bukan main-main

Indonesia merdeka karena sumpah

Indonesia menjadi negara besar karena sumpah

Indonesia menjadi makmur karena sumpah

Dan suatu saat akan hancur karena sumpah

Patih Gajah Mada bersumpah

Pemuda Indonesia bersumpah

Semua pahlawan bersumpah

Kecuali...

Mereka yang tak pernah berperang mengaku pejuang

Tak pernah berjuang mengaku pehlawan

Tak pernah bersumpah justru minta disumpah.

Sumpah itu membuat pejuang marah

Ketika kesaksian atas nama tuhan

Atas nama kemerdekaan bangsa

Ditaklukkan sebagai tumbal kesejahteraan


021. HARGA DARAH PEJUANG

Zaini Dawa

 

Indonenesiaku

Merdeka oleh darah pejuang

Darah yang tercecer dari ibu kota sampai hutan pedalaman

Darah yang tidak dihargai oleh siapapun

Bahkan mayat-mayat mereka tak sempat berkafan

Menjadi santapan binatang-binatang kelaparan

Menyisakan semangat juang yang diwariskan

Kepada saudara-saudara seperjuangan

Sekali berteriak "merdeka"

Peluru menembus tengkorak

Sekali berteriak "majuuu"

Meriam mendadak meledak

Komando kumandang takbir

"Allahu Akbar, Allahu Akbar"

Membara diujung bambu runcing

Teriakan "hidup atau mati"

Lelehkan ganasnya timah amunisi

Indonenesiaku

Merdeka oleh darah pejuang

Bukan ludah pecundang

Mereka yang kau sebut pahlawan

Tak sedetik pun menikmati kemerdekaan

Hanya bisa tersenyum di mata uang

Yang kau jarah atas nama tugas

Dan pengabdian hasil merampas

Indonenesiaku

Dibangun oleh darah pejuang

Bukan ludah pecundang

Aku saja muak dengan gayamu

Caramu mengayuh negeri ini

Ini negeri pak. Bukan puzzle

Mestinya kita malu menjadi lintah

Di negeri yang dibangun dengan darah

Ratapan istri dan anak-anak di rumah.

Indonenesiaku

Merdeka oleh darah pejuang

Bukan ludah pecundang

Mereka yang kau sebut pahlawan

Membaring kecewa dalam petilasan

Kuharap hari ini perang kembali terjadi

Melawan kompeni yang dulu mereka hadapi

Biar engkau tahu rasa pedih-sadisnya perang

Lalu kita bangun kembali negeri ini

Dari awal kemerdekaan lagi


Sumenep, 09 Agustus 2019


22. SAJAK PEMBERONTAKAN

1- Genderang Perang

Jerit tanah yang menganga

Melontarkan aroma kembang menebar keminyan

Amis bau nanah sepanjang nusantara

Bagai menabur geliat debu panas di tengah gurun.

Pekik batu yang melapuk

Remuk ditikam belalak

Segenggam abu terbakar

mengerang di wajah-wajah leluhur

Menghembuskan nafas geram

Diantara rumput hijau bekas tersiram darah.

Teriak air beriak menggertak guntur di langit

Mengundang turunnya hujan dan cambuk halilintar

Gelegar-menggelegar di ubun-ubun mimpi..

Tabuhkan genderang perang di ceruk jantung

Untuk mebayar hutang darah yang tumpah tak berharga.

Raut muka yang kusam

Tak sanggup lagi menahan dera

Ia acungkan telunjuknya ke langit

Dan menyelupkannya ke dasar laut

Lalu mengasahnya pada taring Gajah Mada

Kepada tanduk Hayam wuruk

Kepada cakar Ayam Jantan dari timur

Hingga lahir Sumpah Pemuda.

Tanah airku...

Larut dalam ronta kepalan tangan dan barisan prajurit

Ini tulangku sendiri...

Ini darahku sendiri...

Terbungkus dagingku sendiri...

Semuanya untukmu merah putihku.

2- Sekali Merdeka Tetap Merdeka

Ludah yang terbuang pantang kembali pulang

Sekali meradang tetap menerjang

Sekali merdeka tetap merdeka

Tak peduli patah tulang ataupun tubuh berlubang

Bahkan ancaman kematian tak ku hiraukan.

Merdekaaa...

Sungai-sungai dan jembatan memerah

Gunung, hutan, dan lautan terlihat gundah

Di jalan dan alun-alun mayat-mayat berserakan

Jantung itu sepi.. menjadi kota mati.

Baju pertempuran terseok diterpa kemalangan

Berlumpur darah menumpuk riuh di raut kekasih.

Air mata yang tersisa meneteskan sumpah

Lebih baik mati berkalang tanah

Dari pada hidup menjadi sampah.

Bumi rata dengan kebisingan tembang kelana

Syair-syair pewayangan berirama sabda

Mengalir dari keriput seorang kakek tua

Seruan rokh-rokh leluhur berbunga.

Hari ini..

Sajak-sajakku bergerak mencarimu

Untuk menyatukan mimpi-mimpimu yang masih mengambang.

Di sini...

Aku temukan Ajeng Kartini tersenyum pucat

Dan Ki Hajar Dewantara enggan menatap wajahku.

Entahlah...

Apa gerangan pikirkan..?

Di sudut yang lain

Aku temukan Pangeran Arya Wiraraja tertunduk lesu

Dan Jenderal Soedirman masih bertahan dalam tandu

Entahlah...

Apa gerangan pikirkan..?

Aku malu dan terpukul

Sepuluh jemariku menghujani wajah

Setelah aku tahu mereka kecewa

Ketika kemerdekaan ini dikira kebetulan saja.

3- Perjalanan Bangsa

Oh sayang..

Tatap mataku..!!

Tataplahhhh ....!!

Mata yang perih melihat kekejaman perang

Terbayang bagaimana sakitnya terpisah dengan orang tersayang

Bagaimana rasanya berselimut ranjau berguling granat

diseret seperti binatang

Pedihnya daging dikuliti

Perihnya delapan puluh ribu anak-anak kelaparan

Dirantai

Dicambuk

Disilet

Dilindas

Dicabik-cabik

Rasanya mati perlahan-lahan

Rasanya merobek nadi

Rasanya jari terputus

Rasanya disiram air keras.

Tatap mataku kawan..!!

Tataplahhhh ....!!

Mata yang berbinar-binar melihat kekayaan negeri

Tiba-tiba menghilang dalam kantong gratifikasi

Pohon jati, pohon ulin, dan isi perut bumi

Lenyap hanya dalam satu sasi

Tatap mataku pakk..!!

Tataplahhhh ....!!

Mata yang lelah oleh kantuk semalam menghitung bintang-bintang

Tak satu-pun bersinar dengan cahaya terang

Terlena janji hujan kepada rerumputan

Seperti yang dijanjikan saat bergantung di pohon dan di pinggir jalan.

Tatap mataku pakk..!!

Tataplahhhh ....!!

Mata yang bosan melihat perjalanan bangsa yang baru melangkah

Kemunculan manusia doraemon dari balik beton

Menimbulkan jerit keluh terlontar di belakang plat merah

Pergeseran nilai-nilai kepahlawanan ambyar edan.

Tatap mataku..!!

Tataplahhhh ....!!

Mata yang lepek oleh hukum yang tumpang ketimpangan

Keputusan seperti mata linggis yang jatuh dari langit

Tak mungkin ditangkap oleh tangan-tangan berkarat.

Mataku semakin penat

Menyaksikan penjara tanpa jerat

Hukuman seperti sambal bakso

Tanpa jera tetap berleha-leha

Setahun menderita seabad sejahtera.

Tanah air ini terus menerus tergerus

Rumah kecilku menyimpan tikus-tukus besar

Bangsa ini dipreteli semaunya saja

Dengan memelihara kucing anggora.

4- Sajak Pemberontakan

Aku adalah setetes sajak..

Sajak yang beriak dari peluh nenek moyang

Sajak yang tak mau diam dalam kemunafikan.

Karena sajakku adalah pemberontakan

Melawan bromocorah-bromocorah adipati

Melawan denawa-denawa senopati

Penyamun kekuasaan

Begal kemerdekaan dan keamanan.

Adigang...  Adigung... Adiguna...

Aku tak bisa membayangkan

Bagaimana jadinya negeri ini bila dikuasi bromocorah dan denawa

Keamanan dan kemakmuran tertutup laporan

Kesejahteraan dan keadilan hanya di layar kaca.

Gelap mataku

Buta matamu

Gatal mata kelilipan mata uang

Main cara main mata

Pasang mata dimana-mana.

Dalam pertempuran ini kau boleh teriaki aku kalah

Kau boleh tudingkan telunjukkmu ke mataku

Tapi, ada sesuatu yang perlu kamu ingat

Aku adalah sarang jiwa manusia-manusia lemah...

Darinya menetaskan ribuan sajak...

Menyelami kedalaman pikiranmu

Yang memuntahkan bilur-bilur kebosanan.

Ooohhh...

Kemana mereka yang mengaku pahlawan?

Yang katanya siap mengabdi mengisi kemerdekaan?

Dimanakah santun sapamu kepada bangsa?

Kecuali..

Santunan siapa lagi yang belum tiba

Gonjang-ganjing peraturan kolot

Dibawa saku rekening gendut

Serta kebijakan atas paduan suara kolega

Sanak famili... dan keluarga...

Kemana mereka yang mengaku patriot

Yang katanya berdaulat kepada rakyat?

Dimanakah mereka bersembunyi

Di saat jati diri bangsa terombang ambing keraguan

Antara menjadi warga negara yang utuh

atau berketuhanan yang patuh..?

Oh, Kemanakah mereka yang bangga dengan kidung ibu pertiwi?

Yang katanya lebih elok dari pada suara adzanku?

Dimanakah gemulai gerak tarian iramanya?

Yang katanya semurni puja kepadanya.?

Di saat bangsa ini menjadi boneka hello kitty

Mereka hanya mengangguk-ngangguk

Geleng-geleng kepala

Menganga serupa catut di atas meja.

Dimanakah kalian semua

Keluarlah...

Sapalah pahlawan-pahlawan bangsa

Yang enggan menjawab salamku.


023. PENJAJAHAN BELUM BERAKHIR

Cantiknya ibu pertiwi mengemas berlian

Tumpah mewah pesona keagungan

Bertabur puja di kening dan dada

Serta tersembunyi di dalam perutnya

Mata dunia tersihir

Banyak penjajah datang menjarah

Disekap bergilir berabad lamanya

Ibu pertiwi menjerit menahan sakit

Sakitnya hentakan kaki prajurit

Derap yang menggetarkankan seisi dadanya

Ibu pertiwi lalu berbisik

"Kita dijajah nak...

Ditindas...

Hak kita dirampas.

Melawanlah..!!

Karena diammu adalah kesengsaraanmu dan penderitaan anak cucumu.

Yakinlah pasti menang

Merdekaaa..."

Bisikan itu

Nyalakan kobaran semangat

Para pahlawan bangsa

Tak ada gentar melawan perbudakan

Tak pernah menyerah sekaipun peluru menyumbat aliran darah.

Oohh.. katakan padaku

adakah yang lebih menyeramkan dari pada menyusuri hutan

Membelah sungai di tengah malam

Jurang terjal berbau anyir

Kaki bertelanjang mengejar inti kegelapan

Tapi, itu terbayang seperti bermain di taman.

Merdeka atau mati..!!

Kata itu meletupkan jutaan peluru kemarahan

Merdekaa..!

Atas nama cinta

Mereka menahan rantai kematian

Sawah dan ladang...

hutan dan gunung

Tumbuh kekuasaan manusia biadab

Ibu bapaknya telah lama gugur sebelum berbunga

Karena Menampik dera cambuk rumosa.

Demi cita-cita kemerdekaan

Meraka menahan sakit

Sakit yang tak tersentuh obat

Luka yang yang tak menyentuh rasa

Karena rasa itu tak lebih menyakitkan dari pada penghambaan

Merdeka atau mati..!!

Kata itu memacu derap kuda dan binatang jalang

Tangan mengepal langit dijungjung

Bumi direntak kabut pekat dibabat

menakjubkan sekali...

Dalam darah mengalir nyanyian kemenangan

Paduan kekuatan dan keringat yang mungkin terlupakan.

Kini sudah sampai pada waktunya

Masa depan yang tak terlalu jauh.

Dari luka masa lalu hingga hari ini...

bukan lagi tentang daging yang menganga

Bukan lagi tengtang darah yang tumpah

Sepuluh pemuda yang kala itu diharapkan

Sepuluh copet yang datang berbatik kebesaran

Menua kelilipan cahaya kekuasaan.

Wahai Bung Karnoe...

Bangkitlahhhh...!

Lihatlah bangsamu...!

Penjajah yang dulu engkau lawan

Kini berganti wajah menyerupai kawan

Musuhmu adalah antek-antek asing

Musuhku adalah bangsa sendiri.

Perjuanganmu belum usai bung...!

Engkau menentang penjajahan

Aku menentang ketidak-adilan

Kebenaran diasingkan tersiram air keras

Kejujuran disingkirkan secara misterius

Kejahatan berkoalisi dalam birokrasi.

Ini ironis bung...!!

Engkau minta sepuluh pemuda

Aku minta sepuluh orang tua

Untuk meng-orang-tuakan mereka yang duduk disana

Akan aku angkat martabat bangsa

Yang terlihat seperti panggung sandiwara

Disoraki kaum buruh, petani, dan pedagang kaki lima

Setelah itu semua terdiam tidak ada apa-apa

Kecuali menunggu kisah berikutnya

Ini dramatis bung...!!

Ohh Bung Tomo...

Bangkitlahh...

Lihat sejenak

Kemerdekaan yang engkau mimpikan

Hari ini benar-benar nyata kita rasakan

Merdeka menjadi apa saja

Merdeka mau ber-apa saja

Kebebasan menampuk kuasa

Kebabasan menumpuk suka.

Tanah pertumpahan darah yang dulu kau teriaki

Kini terbangun gedung-gedung konspirasi

Allaaaahu akbarrr...

Teriakanmu telah membakar semangat juang bangsa

Sampai saat ini...

Masih sering aku dengar

Di gorong-gorong massa dalam penokohan

Di celah-celah bebatuan dalam bidikan.

Wahai jenderal soedirman...

Bangunlah...!

Angkat senjatamu jenderal..!!

Bangsa ini sudah kehilangan taring

Merahmu seperti tentara kehilangan benteng

Putihmu seperti kembala hilang kekang

Indonesiaku terlahir sebagai republik

Berkibar bersama terpaan polemik

Dari sabang sampai merauke

Disantuni hutang hukum

Hutang mata

Dan

Hutang janji-janji

Jenderal...

Berilah aku sepuluh pelor..!

Akan aku habisi tupai-tupai ladang

Dan tikus-tikus liar di lumbung

Aku ingin bangsa ini bersih dari sapu kotor

Bangsa ini titisan air mata dan darah kental

Bukan warisan pemilik modal dan kaum feodal

Mereka pelempar peraturan basa-basi

Serta perdagangan dengan peraturan revolusi.

Wahai pahlawan-pahlawan bangsa...

Bangkitlah..!

Sehari saja

Periksalah kembali gulungan ombak..!!

Sampaikah ia ke bibir pantai.

Periksalah gunung-gunung dan hutan..!!

Masihkah ia menyimpan kekayaan.

Periksalah mata air di negeri ini...!!

Masihkan ia menjadi mata kehidupan.

Periksa juga sungai-sungai dan lautan

Masihkah ia mengalirkan kemakmuran.

Aku ingin negeriku menjadi surga dunia

Dimana burung garuda gagah mengepakkan sayapnya

Burung cenderawasih mesra memainkan bulu-bulunya

Menyambut pelaut pulang dengan senyuman

Dan petani bahagia dengan hasil buminya.


024. REAKSI BOM HIROSHIMA NAGASAKI

Ketika Hiroshima Nagasaki berguncang

Sontak teriak bangsa

Serentak di seluruh tanah air Indonesia

Samudera ikut bergetar menggulung ombak

Langit turut terbelah membuka cakrawala indah

Gunung-gunung turut melontarkan salam kemerdekaan

Indonesiaku satu...

Satu nafas...

Satu rasa...

Satu kata....

Satu cita-cita untuk satu Indonesia

Merdeka...

Merdekaaa...

Mereka terusir dari tanah pertiwi

Hengkang menelan kekalahan

Pulang bertelanjang badan

Dilucuti segala ototnya dari urat nadi.

Lunglai... jadi jasad tanpa rokh

Linglung... membawa beban tubuh sendiri

Tak bedaya menapaki jalan-jalan bumi ini.

Tiang merah putih terpancang di seluruh nusantara

Tegak seperti bulu kuduk menancap di sekujur tubuh

Semesta bertakbir..

Semesta menangis...

Semesta merinding...

Indonesiaku

Bangkitlahhh...

Engkau yang gagah tak boleh mengerang kesakitan

Engkau yang perkasa tak boleh hilang wibawa.

Oohhh... Rupanya..

Dahsyatnya ledakan bom atom di sana

Juga terasa sampai di sini

Sekarang...

Di dadaku...

Ketika ku temukan sisa-sisa penjajah baru yang tak kasat mata

Mengguncang perahu bangsa

Beramai-ramai gelar layar berkembang

Berebut kemudi saling baku hantam

Di tengah samudera membentang

Retak seribu hilang arah

Oh, kemana bangsa ini akan berlabuh..?

Ke pulau kapuk atau ke pulau sayur??

Tergantung...

Siapa yang sesungguhnya merdekaa..


Puisi perpisahan untuk siswa kelas akhir

025. TAK KAN LUNAS TERBAYAR

Dulu, balonku ada lima

Kini, berganti cinta gila

Dulu, aku belajar berhitung

Kini, pandai mencari untung

Dulu, aku belajar membaca dan menulis

Kini, lihai berkata romantis

Guru...

Engkaulah sang pahlawan

Pantang menyerah gigih melawan

Tak merengek karena peliknya kehidupan

Tak rapuh dihantam kerasnya persaingan

Tak lapuk dimakan aib jabatan

Tangan dingin dan kehangatan pribadi

Suburkan setitik benih yang belum berarti

Mengangkat martabat setinggi mentari

Menghiasinya dengan pesona pelangi

Namun, Apa yang dapat kubayarkan

Tak lunas seperti yang kau pinjamkan

Banyak waktu tak terbagi

Sibuk menata hari lupa bersolek diri

Seperti badut tua bernyanyi dan menari

Menyambangi  setiap jiwa dengan sepotong roti

Menceritakan bunga mekar dan mewangi

sembari tersenyum melihat muka berseri-seri

menaruh hasrat di pangkuan ibu pertiwi

Membangun altar dengan potongan-potongangrafit murni

Ketulusanmu ter-uji

Kemampuanmu ter- puji

Walau sejemput emosi datang silih berganti

Rasa ingin tahuku kau rangkul kau hargai

Dijunjung tinggi seperti anak sendiri

Dibelai manja dengan sentuhan hati nurani.

026. DALAM TEMPURUNG

 

Teman-temanku...

Semua pelajaran telah selesai

Ujian nasional pun juga usai

Semuanya telah berlalu

Namun nafasku terus melaju

Takkan berhenti membangun mimpi

Biarpun terhalang lautan api


Selama ini kita bak dalam tempurung

Kini saatnya luruskan punggung busungkan lambung

Terbang tinggi seperti burung-burung

Hinggapi ranting-ranting segar berbunga lembayung

Kini ... Tengadahlah...

Lihat langit dengan butiran bintang-bintang

Berpijar berkedipan menari berdendang

Jauh terpandang namun terlihat terang

Mutiara perpisahan sudah terpasang

Terlukis nyata diatas pintu gerbang

Aku rela terbuang

Untuk menjadi bintang

kami tahu indahnya kebersamaan

kami paham manisnya pertemuan

kami mengerti pahitnya perpisahan.

Yang belum dapat kami rasakan

Bagaimana mengayunkan langkah

Bila terasa lumpuh

bagaimana membuang sedih

bila ter-enyuh kenangan masa bodoh.

027. DO'A DAN HARAPAN

Ingin selalu kucium jemari tanganmu

Seperti kucium jemari tangan ibuku

Aku ingin selalu ada di hatimu

Dicintai dan mencintaimu.

Walau gerbang perpisahan baru terbuka

Namun, bunih- benih kerinduan sudah terasa

Bagaimana kelak aku menjalaninya

Sementara kasih sayangmu tidak bisa aku bawa.

Sahabat-sahabatku...

Sebagai penghormatan kepada mereka

Angkat tanganmu tundukkan kepala

Busungkan dada

Heningkan pikran selipkan do'a

Ya Allahhhh....

Ampuni dosa-dosa guru kami

Dan dosa-dosa kedua orang tua kami

Bukan tangan tangan mereka yang kotor

Tapi, tubuh kita yang berdebu dan berlumpur

Bukan karena tega. Tapi, tak kuasa

Menyaksikan piaraannya terlindas kereta

Setiap pagi berteriak-teriak seperti orang gila

Menghitung waktu dengan segenggam asa.

Lalu bayangkan...!

Pantaskah kau pergi begitu saja

Tinggalkan rona senyum mereka

Bersama tumpukan dosa-dosa kita

Tanpa maaf sebagai penyesalan

Tanpa ridlo sebagai harapan.

Ya Allahhh....

Ampuni kesalahan-kesalahan kami

Sungguh besar dosa yang kami miliki

Tak sanggup kami pergi

Membawa dosa yang bertubi-tubi

Terlilit rasanya langkah kaki

Bila tidak engkau ampuni

Tegur kami..!

Bahkan hukum kami...!

Bila dosa ini kembali terulangi.

Dengan kerendahan hati

Kugadaikan rokh kami

Sebagai jaminan taubat kami

Sdlamat berpisah

Salam satu do'a

Gapai cita-cita.

028. DERMAGA PERPISAHAN

Kasat kusut catatan bercoret

Menjadi prasasti sejarah kehidupan

Dari masa cengeng ke masa seru

Terus bergulir menelusuri waktu

          Terkadang aku menangis ketika aku disuruh

          Terkadang aku berlari ketika aku salah

          Terkadang aku sedih kamu marah

          Dan terkadang aku tertawa ketika aku lupa

Pedihnya penyesalan belum aku rasa

Salah dan dosa belum tereja

Tapi bila sampai waktunya

Hati ini akan menjerit meraba dada

Sambil menatap potretmu

Sambil mengenang seagala jasa

yang belum pernah terbayar

Ku merintih dalam doa

          Astagfirllah robbal baroya.....

Malam ini aku tak tahu apa apa

Kanan kiriku penuh dengan tanya

Munkin saja berwibawa penuh damba

Atau hina dina tak berharga dan tak berguna

Ibu jari ataukah kelingking yang akan kau acungkan

Tapi...........

Telunjukmu adalah kompas dihatiku

          kawan....

Masih ingatkah kau, dulu...

          ketika kita masih kecil mungil

Mereka tampil seperti anak kecil

Masih ingatkah kau, dulu...

Ketika kita nakal

Mereka tabah dan tak kehabisan akal

          Masih ingatkah kau, dulu...

          Ketika kita lamban

          Mereka tetap menaruh harapan

                    Tapi, kini lihatlah...

                    Kami berdiri tegak menjadi pelangi

                    Menyambut mata pelita siang hari

                    Menggantung dilangit bagai rembulan

                    Membiaskan cahaya di setiap rongga kegelapan

nanti....

Bila semua ini aku kenang

Dari setiap sudut otak terpencil

Akan bermunculan kata haru nan pilu

Dan menhimpit keajaiban dimasa itu

Malam ini isak tangis bercucuran air mata

Bila teringat peristiwa tumpah tinta

dan meresapi kembali fatwa-fatwa cinta

Bertahun-tahun acuh hampa tampa makna

Pedih perih bersimpul sesal kini terasa

disini...

Di ujung  dermaga perpisahan

Setelah lepas mata memandang samudera harapan

guru...

Capek, lelah, letihmu itu biar aku bayar

Dengan kilauan mutiara air tawar

Dengan seribu pesona terencana pasti

Ini janji terus hinggapi mimpi-mimpi

        

Maafkan aku.....

Maafkan kami semua.....


029. PESAN PERPISAHAN

 

Aku bukanlah batu bata

Tak harus di ukur sama

Atau di pasang rata

Aku anak manusia

Punya bisa...

Punya beda...

Kau tak perlu kecewa...

Sebab usahamu tak sia-sia

Kau rela jadi jembatan kayu

Tujuh belas tahun menderita

Oleh panas matahari dan hujan

Kau dipuja tak terbang

Kau di caci tak tumbang

Kau di benci tetap sayang

Di matamu aku semata wayang

Di pagi hari....

Ketika aku datang kau telah siaga

Di siang hari...

Ketika aku pergi kau ucap dada

Di sore hari...

kau pinjami aku tasbih penghitung waktu

Sebab roda zaman bebas menggilas

Siapa saja yang lengah pasti terlindas

Di malam hari...

Aku kira kau lupa...

Eh, ternyata

 kau kirimkan senandung do’a merobek langit

Kau aktifkan sinyal kuat menembus jagat

Kau kirimkan pesan suara  dalam kemasan do’a

Di belahan sepertiga malam aku terjaga

Kemudian menciptakan rakitan tenaga

Tenaga baru untuk merobek derah kopompong

Melatihku... agar kuat...

Tahan,  dan tak rapuh

Terima kasih guru.....

Aku ibarat ulat dalam kepompong

Aku sesak...

Aku gelap...

Aku pengap...

Aku berjajnji...

Aku akan membuatmu tersenyum

Dengan kepakan sayap  pertamaku.

Tanpa meremehkan matahari

Ku akan mengajakmu terbang mengelilingi taman

Walau di tertawakan sinis burung–burung di angkasa

Belum jauh ku rasa melangkah

Bahagia mulai menjerat mega merah

Padahal...

masih banyak tanya yang belum terungkap

masih banyak mimpi indah yang tersekap

Aku sadar...

Mungkin perpisahan ini sebuah isyarat

Bahwa aku tidak akan tumbuh dewasa bila selalu kau dekap

Bahkan tumbuh kerdil dalam belaian manja

Saat ini, tak ada lagi kata berkias

Seindah lukisan pengabdian cinta

Yang tak dapat di takar dengan gundukan emas

berpasang mata melotot mulut menganga

Latah diam tiada kata menjelma

Untuk  menterjemah kata yang ranggas

sekali lagi.......

kebahagianku robek dalam mendung

bila tak kau lepas aku dengan senyummu.

tetaplah tersenyum walau dalam paksaan

maafkan aku...

bila aku luput mecatat  sebagai kenangan...

atau kemenagan...

ya Allah ya tuhanku....

ikat kami dengan lilitan rindu

agar kami mengingatnya selalu

walau berbatas jarak dan waktu

Sampai mati-pun... kami perlu.


030. MENGENANG JASA GURU

 

Guru….

Di rumah kau tingglkan anak-anakmu

Melangkah menelusuri pagi

Terasa embun jadi permata

Terasa debu yang menempel di kaki

Akan jadi pernik-pernik bidadari

Terik matahari tak kau hiraukan

Hujan… badai… kau abaikan.

Demi seteguk air mata air di tanganmu

Tapi…

Bila... kita disni,

Pantaskah aku tegak berdiri terpukul matahari

Guru….

Di pundakmu terpikul bongkahan tanggung jawab.

Terbawa langkah kecil terengap-engap.

Keringat bercucuran basahi kerah bajumu

Teringat ranting sudah bertangkai

Disini kau dapati suguhan kepayahan dan ronta kenakalanku

Yang bagi orang lain tentu meremas-remas dasi

Tapi…

Kemarahanmu terbungkus diam tertutup senyum

Lalu aku sadar…

ternyata senyummu itu leburkan kepala-kepala batu

Guru…

Aku adalah ranting yang sudah bertangkai

Aku tumbuh di bawah tapak-tapak kakimu

Aku kuncup di antara telapak tanganmu

Maka….

Izinkan mala ini aku kalungkan bunga ini padamu

Hati ini menjerit, jika semerbak itu tak kau cium

Hati ini bersalah jika bunga tak layu di pundakmu

Guru…

Aku tahu, aku tak kan pernah mampu balas budi

Ucapan terimaksihpun tidaklah cukup menghapus debu-debu kapur yang mengotori

Malam ini aku tak kuasa melihatmu

Duduk… berdiri… dihadapanku

Lantaran jiwaku tertimbun gundukan salju

Yang tercipta dari setitik noda dalam kalbu

Aku menyesaaal guru…

Aku sediiiiih sekali guru…..

Kalau akhirnya kita harus berpisah disini

Pergi membawa keeping-keping kerinduandan sebongkah harapan

Malam ini bumi darissalam di guyur air mata,

di terpa angin membiaskan sayonara

hati ini gemetar menggelora karena asa di penjara rasa

hanya maafmu guru yang bisa membendung deraian air mata ini.

Terima kasih guru…

atas serpihan kasih sayangmu

Sematkan aku dalam do’amu

Agar ranting ini terus bertangkai…

Kuncup… dan berbunga….



031. KIDUNG PERPISAHAN

Sejenak langkah kaki terhenti sampai disini

Menyapa wajah-wajah layu di persimpangan

Seraut senyum tertunduk menyendiri

Selayu bunga-bunga lepas dari jambangan.

Riuh gemuruh canda tawa

Riang gembira terbungkus kebersamaan

Tanpa terasa kehadiannya menepi di dermaga

Selangkah lagi kenangan merajut penyesalan.

Malam ini kidung ranting cemara

Merengek sedih dalam kepiluan

Seperih rasaku menahan matahari di ujung senja

Pelan-awan kelabu melambaikan kesunyian.

Dalam kebisuan dan keheningan malam

Terputar kembali titian derama silam

Semua terekam hingga hingga corengan hitam

Menjadi nostalgia berlumpur kelam.

Kawan...

Lihatlah dingding kelasmu

Penuh dengan coretan keangkuhan

Yang engkau nilai sebagai kebanggaan

Lusuh berkerak mewakili pikiranmu.

Kawan...

Lihatlah bangkumu

Tempat kau menulis, menghitung, menggambar

Reot dimana-mana menguji sabar

Mewakili tingkahmu yang imut-imut nan lucu.

Kawan...

Lihat pintu dan jendela itu

Mereka sedih tertunduk lesu

Pecahan kaca bertebaran pilu

Menjadi beling tajam di hati guru.

Bila aku menoleh kebelakang

Nyinyir kerut kerling tak bergeming

Nestapa dalam dada tersayat bayang-bayang

Masa lalu berlalu sia-sia terbuang

Tangtangan masa depan keras membentang.

Kucoba tenang dalam galau

Menepis cemas segurat risau

Demi bakti wujudkan ikrar

Suatu saat nanti bintang-bintang ini akan berpijar

Dari dalam dada kami akan terpancar

Hakikat senyum pun tulus terang bersinar

Hanya untukmu guruku terhatur.

Bagai matahari dan bumi

Puisiku kian merintih lantaran cerita kami

Sajakku ingin tahan semburan dosa masa lalu

Mengemis sebait do'a dan ketulusan restu

Pun gelora cinta dalam rima pengampunanmu.

Guru...

Maafkan kami

Maafkan kami semua

Bila lancang kami menorehkan luka

Waktu itu kami tak mengerti sakit

Yang kutahu hanya bermain asik.

Guru...

Ampuni dosa-dosa kami.

Bila rayuku tak mampu memgobati luka robekmu

Karena kepolosan dan kebodohanku

Biarlah kubawa cucuran butir bening ini

Sebagai perjalanan meraih mimpi

Guru..

Waktu telah mengantarkan sunyi

Sampai hati tergores nyeri

Karena perpisahan hati terasa perih

Teriksa..

Terlunta..

Jiwa-jiwa ini merintih.

Guruku pahlawanku

Kami harus pergi.



Puisi cinta untuk ibu

032. KASIH IBU

Engkau wanita tercantik di dunia

Kemewahan permata memudar di pipimu

Luasnya samudera

Tingginya langit

Beratnya bumi

Hanyalah sesuap nasi di ujung jemarimu.

Engkau mencintaiku

Jauh sebelum aku berharga

Sampai tujuh bidadari menyunting bunga-bunga

Engkau tetap tersenyum dengan rona kenakalanku.

Di dalam lesung pipimu

Kutemukan senyum dan air mata.

Samudera kasih yang terbaca

Lewat garis-garis di keningmu

Ibuku pahlawanku

Ibuku bidadariku

Aku tak mungkin memindahkan surga di bawah telapak kakimu

Dengan apapun

Apapun

Apapun itu

Jantungku berdenyut dalam detak do'a-do'amu, ibu

Nyawamu kau jadikan saluran nafasku

Menyatu dalam butiran-butiran darah

Setelah itu engkau tiada

Dan aku menjadi bocah yg terbuang dari sayap malaikat.

033. NAWALA CINTA SEORANG ANAK KEPADA IBU

Zaini Dawa

IBU
kau belum mati
Kau benar-benar berumur panjang
Namamu masih mengharumi bunga-bunga
Mawar, melati, matahari, kamboja, dan seroja

Semangatmu masih berkobar dalam dada
Melebihi kobaran semangat pejuang bangsa

Air susumu masih mengalir deras dlm mulutku
Yang kering serta haus kasih sayangmu
Dadamu masih kokoh seperti tugu
Untuk kujalani pertapaanku
Senyummu masih menghiasi perjalananku
Sebagai azimat dan mantra keselamatan anakmu

IBU
satu kata darimu
Seperti seribu  bahasa punya guru
Mencintaimu adalah pengabdian diri
Dicintaimu adalah prestasi tinggi
Menjagamu adalah bakti suci.

Mendo'akanmu adalah pengabdianl
Menciummu adalah kerinduan
Memelukmu adalah harapan
Kelak di sorga kita bergandeng tangan
Sambil kuceritakan
Semangat dan cinta yang engkau tinggalkan
I love you ibu

Sumenep, 22 Desember 2017


Puisi Romantis

034. AKU MENCINTAIMU MELEBIHI BATAS

Malam ini...

Aku ingin mesra bersamamu

Dalam hening dan jiwa yang tenang

Dalam ruang yang kini mulai sepi ditinggalkan.

Disini...

Kita cukup berdua

Menindik ketakutan yang bersembunyi di balik baju

Dan kepatuhan yang tak patut tersimpan dalam buku

Aku mencintaimu melebihi batas kemampuanku

Jika malam ini...

Virus itu ada diantara buah dadamu

Biarkan aku menidurimu hingga subuh

Dan jiwa kepenyairanku tenggelam

Menggila ke dalam lekuk tubuhmu yang indah.

Engkau tetap abadi di dalam hati

Dan gemuruh itu mati

Oleh rindu dan panasnya percintaanku.

Disini, kita sedang berjudi

Mati malam ini seharum kasturi

Atau...

Hidup menyaksikan satu orang cuci tangan

Diantara jutaan batin mati kelaparan.



035. ANEGERAH TERINDAH

Hari-hari berlalu dengan kebisuan

Malam-malam pun terjebak kegelisahan

Gemericik sabda jiwa

Merongrong do'a

Menyusun serat-serat cinta

Pada dedaunan yang dimainkan rintik rindu

Semakin tulus kubenamkan rasa.

Hasrat menari di atas mahkota bunga

Rasanya tenggelam ke dalam serbuk sari bermadu

Burung-burung berkicau merdu nan syahdu

Iringi kegilaanku yang hanyut bah tirta nirwana.

Alunan kasih mengalir menjadi dzikir

Mengurai penat penuhi ruang langit

Ditemani melodi cinta temui bintang-bintang

Karena esok akan kembali dengan cahaya yang ditempa pada rembulan.

Percayalahh...

Telah kulabuhkan ikrar pada sekuntum bunga

Untuk sekeping puzzle yang diambil dari patahan rusuk

Sebab jantungku tak mungkin berdetak

Hanya dengan satu rasa

Begitu pula dingding hatiku

Takkan pernah indah tanpa lukisan cintamu.

Sejuk mata rembulan

Teduh di pelupuk mata

Engkau tak perlu gelisah

Sebab engkau adalah anugerah terindah

Adaku karena cintamu

Adamu adalah rinduku.



036. CINTA SEJATIKU

Sayang..!!

Hari ini aku benar-benar bahagia

Menyambut matahari terbit merona di wajahmu

Saat-saat dedaunan melambaikan salam

Turut melepaskan bahagia.

Bunga-bunga menebarkan harum semerbaknya

Ketika pertunangannya dengan kupu-kupu

Disaksikan embun dan cahaya matahari pagi

Aku ingin kau selalu ada disampingku

Karena aku tidak bisa hidup tanpa jantung hatiku

Aku ingin kau selalu tersenyum

Karena aku tak bisa hidup tanpa belahan jiwaku.

Tetaplah kau menjadi dirimu sendiri seperti saat ini

Menjadi bidadari hatiku

Karena tak mungkin aku bahagia bila tidak bersamamu.

Aku mencintaimu

Melebihi yang ditakdirkan Yusuf kepada Zulaikha

Melampaui batas cintanya manusia biasa

Sayang...

Jika suatu saat nanti

Jasadku tidak ditemui lagi

Temukan aku di sela-sela puisiku ini

Pada setiap huruf-hurufnya aku abadikan cinta kita

Karena aku tak rela kisah cinta kita menghilang begitu saja

Aku ingin cinta kita abadi selamanya

Sampai ke taman surga

Karena sesungguhnya...

Bahagiamu adalah bahagiaku...

Sedihmu adalah matiku...



037. TERPAKSA AKU IKHLAS

(Puisi kolaborasi)

A

Kesederhanaan matahari menjaring gerimis

Menuntun lirih nafasnmu..

memintaku untuk tersenyum..

Walau hebatnya luka memilih tak berdarah

Luka ini menghentikan detak-detak jantungmu

Di dalam tubuhku

Dan menenggelamkan wajahku

ke dalam lumpur siluet musafir cinta.

B

Itu salahmu, sayang...

Kamu kalah menghadapi tajamnya lidah

Gagal memaknai matahari terbit

Tetes air mata kau sebut embun pagi

Yang bertahun-tahun bergantung di langit.

A

Sayang...

Pelangi di bola matamu memaksaku untuk ikhlas

Merestui segala apa yang yang engkau mau

Satu-persatu catatan romantis denganmu

Bercucuran dalam peluk terakhir yang tak ku sadari bahwa itu adalah muara.

B

Aku memilih jalanku tanpa engkau tahu kemana arahnya.

Lupakan saja aku..

Engkau tak perlu berhenti saat melihatku berjalan kaki..

Sendiri..

Jika suatu saat nanti kau temui debu di jalan

Itulah aku...

A

Sayang...

Bekas kecupan mesra menggoyang ikhlasku

Kaku mejadi relief di belahan bibirmu

Dan ikhlasku lapuk menjadi segenggam pasir

Jika suatu saat kau temui ia terhempas angin

Itulah aku...

B

Kini...

Halaman sudah menghilang

Taman sudah kerontang

Tinggal bagaimana mengikhlaskanmu

Walau luka ini ku bawa mati.


038. PENGKHIANATAN CINTA

Rasanya aku ingin mencungkil mataku

Dan menutupinya dengan bayangan hitam di pundakmu

Tapi, itu tidak mungkin

Karena aku masih ingin melihat akhir kisahmu

Kisah bersamanya yang kau pertaruhkan atas diriku

Sekalipun sangat menyakitkan.

Ketika burung-burung camar menari

Menanti kehangatan mentari pagi

Airmata adalah caraku berbicara tentang langit yang terlihat kosong

Kepada awan yang menyimpan pelangi

Kepada angin yang menggoyang ilalang

Kepada ranting yang menaggung putik dan benangsari

Aku mengutuk bayangan mesra di depan mataku sendiri...

Sebuah kenyataan yang tak pernah aku bayangkan akan terjadi dalam hidup ini.

Engkau benar-benar keterlaluan

Tidak memperhatikan bagaimana hancurnya hatiku.

Dari semua kata sedih yang pernah aku katakan

Tak lebih menyiksa dari penhgkhianatan.

Meleleh... Membara... dan mendidih...

Di dalam tubuhku yang dulu pernah engkau kagumi.

Aku tidak marah...

Aku hanya kecewa...

Kecewa yang menutup semua pintu rayu.


039. SENDIRI KESAKITAN

Dengarlah wahai kekasihku...

Kesendirianmu seperti butiran air hujan dalam aliran darahku

Tak pernah reda mengorek rinduku untukmu

Kesakitanmu telah membuat

dadaku terbelah

Tiada henti-hentinya meneteskan air mata darah.

Keadaanmu mejadi dilema perjalanan matahari

mewakili bekunya embun pagi.

Bumi dan langit tak akan pernah satu nafas

Walau gemerisik angin mengundang gerimis.

Sepertinya tuhan sedang mengajarimu untuk tersenyum

Sekalipun dalam keadaan sekarat


040. MASIH

Untukmu yang pernah aku singgahi

Dan masih tetap aku jumpai

Sampai saat ini.

Semoga suaraku tidak mengganggu tidurmu

Suara yg berkelana diantara tidur dan jagaku

Memutar kembali sketsa derama percintaan

Yang sempat dimainkan badai dan taupan.

Bayangmu menyelubungi malam-malamku

Dan hari-hari yang tak pernah lepas hingga aku menemukanmu.

Terluka...

Pada saat dia mabuk

Tertekan...

Pada saat dia terhimpit.

Dalam kondisi seperti ini

Aku memang tak terlihat apa-apa

Aku sadari lukamu itu sebuah patahan

Tak mungkin disambung dengan benang murahan

Yang mudah ditemukan di pinggir jalan.


041. BUNGA LAYU DALAM KACA

Aku...

Setangkai bunga

yang kau simpan dalam kaca

Tangkai itu...

Telah patah seribu

Dan bunga layu tiada bermadu.

Engkau kekasihku yang ditakdirkan bersama orang lain

Demi cinta..

Telah aku tahan beribu suka dalam batin

Telah aku korbankan waktuku untuk menganyam sebilah mimpi

Hingga ku abaikan usia matahari..

Selama ini

Aku terbuai desir lembut angin

Yang menepikan buih-buih di lautan

Melambaikan rumbai-rumbai janur kuning

Menyalami jiwa yang nyaris mati tergantung.

Mata terpejam

Terbayang balutan luka yang terlihat akan indah pada masanya

Seakan-akan akulah satu-satunya cinta yang akan engkau genggam

Nyatanya aku terbuang jatuh tertimpa tangga

Aku seperti kelana angin tak bermusim

Sepi...

Sunyi..

Sendiri..

Aku lah bunga dalam kaca

Korban kebutaan cinta


042. SAHABAT DUMAY

Tak setetes pun darahku mengalir di nadimu.

Tak sehelai pun benang guritaku mengikat di tubuhmu

Engkau yang jauh disana

Entah dengan siapa

Santun sapa riuh bersimpul di layar kaca

Kadang aku tertawa lalu diam

Kadang aku jengkel lalu tersenyum

Sendiri..

disini..

Cerita ini terbangun tanpa rencana

Bersamamu...

Tak perlu tempat untuk berjumpa

Tak butuh waktu untuk bercinta

Cukup dengan satu rokh puisiku saja

Bisa ku hembuskan beribu kisah nyata

Tentang pertemanan matahari dan bumi

Yang melahirkan serpihan-serpihan pelangi

Indah penuh sensasi

Melengkung jadi rusuk cakrawala

Mewarnai ragamnya peradaban dunia.


043. AIR MATA BIANGLALA

Telah kutanam sebuah nama di dalam genggaman

Ku lempar ke udara untuk mengubah badai menjadi semilir do'a

Menyebutmu dengan bahasa embun

Berbutir riuh sangkal di ujung dedaunan

Dan meneteskan haru pilu di malam purnama

Benih itu sempat menghilang di tepi laut

dan dikembalikan segumpal angin dalam keadaan carut marut.

Aku tersentak oleh lintas roda dunia

Dan kau terlunta diatas pusara asa.

Seuntai benang merah muda seketika menjadi merah tua

Serupa matahari tercelup di lautan menutup cerita.

Sebelum cahayanya tuntas membiaskan rona bianglala

Patahan ini tak lebih menyakitkan dari pada bisik bintang kejora

Prasangka menekan sunyi malam melumpuhkan kalimat puja.

Tawa senyap kedinginan oleh cahayanya sendiri

Cahaya dalam satu kepalan malam yang tak dikehendaki

Simpanlah air matamu..

Tinggalkan aku..


044. RINDU BERAT

 

Kupinjam deru ombak

Yang selalu gemuruh mewakili nyanyian tembang tua di wajah-wajah pemulung.

Untuk merangkulmu.

Kupinjam birunya langit

Yang tak pernah runtuh menanggung beban awan hitam dicambuk halilintar.

Untuk memujimu.

Kupinjam desir angin

Yang tak pernah diam mengalir ke jantung butiran embun di ujung tanduk ilalang.

Untuk menjumpaimu.

Ku pinjam bahasa cinta untuk menyapamu.

Ku pinjam bahasa rindu untuk memelukmu.

Ku pinjam bahasa kekasih untuk merebah di pangkuanmu.

Ku pinjam bahasa ibu untuk mengecupmu

Darahku serupa air terjun

mengalir deras mengingatmu.

Nafasku serupa badai

berhembus kencang menyebutmu.

Jika mereka bahagia

karena pernah berjumpa

Bagaimana denganku

Yang tak pernah bertemu

Tapi. Menyimpan rindu.

Akulah manusia yang paling gila.

Paling mabuk cintamu.

Paling tidak tahu malu mengharap tali kasih.

Sementara tanganku hanyalah pasak tiang rapuh.

Yang tak pantas engkau cintai.

Namun...

Aku tidak sanggup bila kau abaikan.

Apalagi kau benci

Ku tanam asa di dasar hati.

Sedalam kasihmu menombak debu kemarau di musim kerontang.

Sedalam laut menelan berjuta mutiara ditusuk konde nenek moyang.

Sedalam mata hatiku yang bergetar-getar menunggu kehadiranmu.

Ku sempurnakan cintaku pada setiap helaan nafas.

Tegar merayumu di setiap kedipan mata.


 

045. TUMITMU

Dengan melihat tumitmu

Matahari menjadi terang

Langit menjadi cerah

Bulan menjadi purnama

Laut pun bergelombang

Tumpah ke bibir pantai

Menjadi air liur manusia-manusia lemah

Apalagi menatap kerlingmu yang anggun

Di sudut bumi dan langit.

046. BUNGA DALAM KACA

Bayang-bayang gagap menyelinap

Dari balik kaca tanpa cahaya

Ego menusia menguasai mata gelap

Menggores kening keriput titisan Rahwana.

Tegar berdiri

Dalam sunyi

Tegak bersama takdir

Sejalan arus mengalir

Tubuh yang remuk di rongga mulut

Hanya silatan lidah di rumah siput.

Ombak laut, datanglah..!

Gelombang samudera, hantamlah..!

Jiwa yang tenang, manusia tangguh

Sebagaimana kokohnya batu karang

Menghadang prasangka yang datang

Sebagaimana menyucikan cinta

Semedikan bunga dalam kaca.

Jiwa yang tenang

Terdiam menahan tekanan darah

Setiap kali memanas dan mendidih

Kidung-kidung asmara kalimatut thoyyibah

Selimuti tubuh yang elok bermata jernih

Sementaraaa...

Angin beriak merengek dalam ketiak

Serupa lirikan mata

Sayu terhimpit sajak.

047. TAK SAMPAI

Di matanya

Ku rasakan lembabnya kegelisahan

Tersebab kecewa pada awan

Yang tak kunjung menjadi hujan

Dan setangkai melati

Yang gugur sebelum bersimpul jemari.

Akhirnya..

Dia merela bersila di tepi pantai

Menatap ombak berkejaran tiada henti

Menyuling senyum dari rongga kehidupan

Mematung sesak pada karang keabadian

Berkali-kali menjauh lalu mendekat

Berkali-kali menghilang kembali terjerat

Mencoret sebuah nama tak berpantai

Yang tak mungkin dia miliki

Cahaya bulan menyusut oleh risau malam

Tersangkut reranting berbayang hitam

Hancurnya riwayat mengusung selarik cerita

Menutur sebentang rindu yang pernah menjadi raja

Menggelora di istana antara luka dan kecewa

Rasa itu pernah meratai mimpi

Dan pada hari ini ia tangisi

Karena takdir yang tak mungkin diganti

Oleh seruncing duri

yang bersarang dalam hati

Jika ia tak bisa meneteskan terang

Lebih baik menjadi seonggok arang

Dari pada berdebu

Berpacu dengan bayu

Lalu cerita itu menjadi kobaran api

Melalap patung sejarah dan prasasti

048. ALASANKU MENCINTAIMU

Cobalah pegang setangkai bunga ini, sayang!

Peganglah..!!

Lalu pandangi

Sedalam matamu hati memandang

Penuhi kebahagiaan dan harapan

Seketika, bunga ini menjadi cengar dan segar

Di tanganmu.

Lalu lihatlah bunga-bunga disana..

Semuanya

merunduk.. menunduk

layu... dan cemburu...

melihatmu memegang bunga ini.

Seandainya kau mendengar teriakannya

Duniamu pasti hancur.

Sudahlah..

Tak usah kau tanyakan lagi "apa sebabnya?"

kehangatan dan kelembutan tanganmu..

Adalah pancaran matahari pagi

Karena itu

Aku larutkan cintaku

Kedalam urat nadimu

Agar bisa berlalu-lalang

Keluar masuk di jantungmu.

049. ENGKAU TULANG RUSUKKU

Mungkin kata-kataku ini

Akan membuatmu terkejut,

Karena ku petik dari ronta jiwa..

Yang bergelantungan dibawa kelopak mata

Aku tulis puisi hatiku

Dengan melepas sajak dan majas

Serta menyingkirkan diksi dan literasi

Agar aku bebas menulis

Diatas gemuruh cintaku.

Dengarkan aku baik-baik sayang...

Aku mengenalmu seperti bertemu surga.

Wangimu tercium sejauh perjalan 40 hari 40 malam jalan kaki.

Tp.. bukan sejauh itu adaku untukmu.

Aku selalu ada di bawah jendela hatimu

Untuk menjaga dan memastikan hatimu..

Tetap cerah ceria seperti langit biru

Aku tidak akan pergi meninggalkanya

Sebelum.. dan sesudah engkau buka pintu hatimu..untukku.

Selamanya...

Duduklah di dekatku sayang..

Yaaa... di sini.. di sampingku

Karena engkau adalah tulang rusukku..

Yang melepas di surga dulu

Tetaplah mendekap di sisiku

Agar wangimu bisa aku rasakan

Dari arah tanpa batas jarak dan waktu

Sayang...

Jika kamu punya senyum

Berikanlah kepada setiap orang yg menjumpaimu

Jika kamu punya bulan, atau bahkan bintang-bintang,

Berikanlah semuanya kepada sahabat-sahabatmu.

Karena kamu sendiri saja..

sudah cukup bagiku.

050. TERIAK MESRA

Izinkan hamba menyapamu

Lewat retak keringat

Yang berpijar pesona kelembutan

Dari perjalanan cinta

Yang sesekali berteriak

Saat malam menyembul hawa dingin.

Oh, andaikan hamba bisa bercerita

Tentang bulan yang memasung keheningan

Dan matahari yang menusuk jantung pagi

Maka cahaya

Adalah kecupan mesra


051. SURAT KECIL UNTUK KEKASIH

Lupakan saja aku

Lalu kubur aku dalam-dalam

Tanami diatasnya bunga-bunga sebagai batu nisan

Sebagai tanda kematianku adalah kebahagiaanmu

Daripada aku terus menghantui hidupmu.

Akupun juga tidak mau

Melihatmu tersiksa dalam penantian yang tidak tentu ujungpangkalnya.

Kasih...

Aku tidak sanggup memenuhi janjiku

Untuk menjadikanmu bagian dari belahan jantungku.

Aku tidak mampu membelah lautan

Untuk kulalui sebagai jalan penyebrangan

Laut itu terlalu luas

Gelombangnya begitu ganas.

Hapus saja air matamu

Kini aku hanyalah sesosok mayat

Yang tidak mampu berbuat apa-apa

Kecuali merasakan tangisanmu.


052. JERA JATUH LAGI

Cukuplah satu bulan temani malam

Bias-bias cahaya menikam kelam hingga terpejam

Terangi gelap yang tak sempat disapa lentera

Biarlah ku tudung muka dengan gugusan sinarnya

Aku tak peduli

butiran embun pagi memanjakan diri

menyambut fajar di punggung ilalang

Daun-daun muda melotot tercengang

Hanya sekejap saja

matahari datang mengusiknya

Mengutuk dera di ujung kudeta

Jeraaaa......

Aku menguliti kantuk mata

Hanya untuk sembunyikan nista

Jeraaaa...

Aku jatuh dan terjatuh untuk kesekian kalinya

Lalu bangkit lagi dengan tangan hampa

Aku hanya ingin terbang bersamamu

Mengajarimu melukis langit biru

dengan pahatan-pahatan yang menyeruak pikiran

Membentuk kisah berkasih tanpa kesudahan

Cukuplah jari-jemarimu menjadi sapu tangan

Di saat gerah tubuh hampa keyakinan

Cukuplah senyummu meneteskan air hujan

Disaat nurani kerontang di perjalanan.


053. CINTA DALAM SEPENGGAL MIMPI

Malam itu langit bertabur bintang

Dalam gelap wajahmu bersinar terang

Menyambut batin berseri dalam kamar

Bahagia meraup sahut sapa syahdumu ku dengar

Kalau saja cicak mengerti senyumku

Dia pasti lupa sedang dimana dia berada

Dan dia pasti mencurigaiku

Telah menyulap aksara cinta

Entahlah...

Angin apa yang membuat nafasmu begitu segar

Hingga aku lunglai oleh rayuan tak terkata

Tertunduk jiwaku oleh kesepurnaan rasa

Sempurna senyumku bak bunga sedang mekar

Indahnya tawaran bulan bermadu

Tak lekang oleh ranumnya waktu

Andaikan saja aku tertipu

Aku tetap yakin itu adalah kamu

Ku bawa lari cintamu keluar dari jebakan mimpi

Membawamu terbang serupa sepasang merpati

Kebahagiaanku ini akan abadi

Bila memilikimu tanpa syarat dan emosi

Hasutan rasa mendera keyakinan

Oleh keraguan yang tak beralasan

Sungguh aku tak percaya

Tapi. ini seperti nyata

Cintaku seperti tertanam dalam guci

Huerrrgh....

Kisahnya hanya sepenggal mimpi


054. GEJOLAK RINDUKU

Malam-malamku berguguran

Memgayun namamu diatas telapak tangan

Air mata mengalir berjatuhan

Banjiri do'a suci yang aku tadahkan.

Namamu begitu lekat

Cintaku begitu kuat

Getar-getar imaji untuk memiliki

Menggebu sekencang detak nadi.

Tak ada yang berhak melukiskan

Kecuali derasnya air hujan

Yang seolah-olah rindu berjatuhan

Basahi sekujur tubuh hingga menggigil kedinginan.

Kegelisahan menyapa angin malam

Celotehnya berdesir ke dalam sumsum

Beratnya rinduku seakan menindih

Seperti tertimpa serpihan langit runtuh.

Bila rinduku bergejolak

Bahagiaku seperti berputar- putar dalam benak

Seindah rembulan tersenyum dengan cahayanya

Dan bunga-bunga tersipu menyatu dengan wanginya.

Sayang..., Jika suatu hari nanti...

Rinduku tidak mampu membuatmu tersenyum

Lempari saja aku setetes air matamu

Biarkan saja aku tenggelam

Hanyut dan kandas di dasar hatimu.


055. CINTA BERUJUNG SEMBILU

Mungkin kata-kata ini kau anggap sudah usang

Karena terlontar dari potongan hati yang terbuang

Tak apalah...

Setidaknya aku tuangkan segala perasaan

Yang mesti kau dengar walau berbalut kebencian

Seperti berjalan di tengah musim kemarau

Terik matahari membakar pilunya waktu

Ketika sendi-sendi melepas rasa

Hendak berdiri tegak tak berdaya

Dan menyibak kelopak mata senja

Tapi, rasa ini mati dibantai orang ketiga

Ada satu hal yang perlu kamu ingat sayang..

Saat-saat melakukan hal gila bersama

Kau titipkan hatimu pada sepotong jiwa

Saat-saat berbagi mangkok yg sama

Ku tindih kakimu di bawah meja

Di saat itu kita benar-benar bahagia

Di sudut hati kita terukir panorama sorga

Kini...

Kemanakah senyummu menghilang

Setelah kepergiaku dirantau bayang-bayang

Karena ketidak mampuanmu menahan dera

Yang jauh lebih aku rasakan disana

Kepasrahan menyisakan dosa-dosa

Serta keabadian rintihan air mata

Menyirami jalan yang pernah kita lalui barsama

Berujung sayatan sembilu dalam dada

Dearly baby...

With what I have to treat my heart wounds

And restore my lost love immediately

Dihadapan barisan kumbang-kumbang

Langkah terpaksa berhenti dikutuk masa

Seakan-akan berhenti diantara dua jurang

Kematian kupu-kupu menggeliat bak terpanggang bara.


056. TITIK

Titik mengantung di ujung rerumputan

Berayun kembang meliukkan dahan

Memacu langkah gesitnya bertingkah.

Terus melaju tanpa jeda

Melesat...

Hingga sampai ke titik jenuh

Dan...

Mengering...

Di titik darah penghabisan

Sebatang rusuk patah

Berpura-pura lenyap dalam genggaman

Tik titik tana liyut pocettah koddhuk

Titik terdiam menggumpal di akhir kata

Mengurai huruf-huruf yang pernah tercipta

Mengeja sebuah nama yang merimbun bunga

Dan melilit di sudut bibir dan retina.

Tik titik tana liyut pocettah koddhuk

Titik-titik menetes jadi air mata

Lalu tumpah jadi samudera

Menyibak misteri Adam dan Hawa.

Akhirnya...

Titik menjadi terang...

Bahwa engkau adalah titik terlarang...

Dan

terindah, TITIK.


057. AKU DAN PUISIKU

Kalau saja...

aku tulis puisiku pada lembar mahkota bunga

Cacing-cacing tanah menghayal bisa terbang.

Kalau saja...

aku tulis puisiku pada dinding purnama

Bintang-bintang kecil menyusup ke tubuh kunang-kunang.

Tapi...

Ku sajak alam semesta

Ku tulis pada tulang-belulang manusia

Yang berserakan diantara etika dan logika

Lalu jemarimu pagari mata hati dan telinga.

Jika kau sangka aku buaya darat

Seribu bidadari-pun bisa aku dapat

Hanya dengan sepotong puisi

Bila aku sudi...


058. CINTAKU YANG REMUK

Kurebahkan tubuhku

yang rapuh oleh kalutnya waktu

Berguling butiran keringat malam 

Berdenyut nadi di ruang senyum

Imajinasi menetes di lorong-lorong mimpi

Rengekan pintu tua bernada pilu

Saat ku coba bernyanyi mengusir sepi

Syairkan cinta yang remuk di hari ulang tahunku

Nyanyian sendu ramaikan dunia

Lagu-lagu rindu mengajak bernostalgia

Irama detak jantung mengguncang dada

Sekeras halilintar menukik di ubun-ubun cerita

Lalu aku belur lunglai tak berdaya.


059. TERTAMBAT PENGKHIANATAN

Di dindingmu berjuta lukisan janji

Gambarkan indahnya hajatan

Lalu kau cabik-cabik kembali

Karena ngeri bayangan yang dirindukan

Tembok beku enggan mengemakan suara

Suara yg pekak oleh pekik sesumbar

teriakan keras dari atas mercusuar

Menyambar perselingkuhan berbunga tujuh rupa

Sekuntum bunga jadi rebutan

Bunga-bunga yang lain terinjak di bawah meja makan.

Tertekan disandera kekalahan

Menjerit terhimpit rayuan setan

Tentangmu coretan buram tak bernafas

Tak mungkin selongsong paku menggores

Kecuali matahari tak lagi bergantung

Di atas langit retak kemarau menggulung


060. SEPI MENJEMPUT AIR MATA

Dimanakah hembusan nafasmu

Biasanya berdesir menemaniku

Silir-semilir meniupkan angin manja

Rindu sentuhan raga bersandar nyata

Kesunyian ini sering datang dan pergi

Melambaikan tangan lalu memeluk diri

Jika semuanya harus diam membisu

Izinkan aku merayap ke dalam lelapmu

Malam-malamku meredup

Segamang menyusuri sisa-sisa hidup

Apa yang bisa aku tatap

Sebatas lentera kecil dimainkan bidadari tak bersayap.

Oh malam...

Dimanakah keindahanmu

Yg dulu kau berikan padaku

saat nuraniku dalam kesunyian

Kau taburkan bintang-bintang berkedipan.

Jika rohmu membeku sekarat gulita

Aku tak memaksamu menjadi purnama

Cukuplah fajar menjemput air mata

Di sudut-sudut malam ku haturkan padaNya.


061. RAPUH DALAM RAGA

Sajak berbunga terjuntai dirapuh ranting

Menitip rindu pada sebatang pohon kering

Biarlah terkelupas oleh angin dan matahari

gemetar oleh gemuruh petir berjubah pelangi

Biarlah tumbang musnah di padang ilalang

Kembali hina di comberan melegam arang.

Bila matahari terbit

Ketakutan ini menjerit

Seperti menghadapi hukuman mati

Mengarak asa dirantai mimpi.

Hembusan nafas semakin gila

Bila terus menahan perihnya luka

Dahsyatnya badai terburuk menyapu

Adalah batinku yg belum kamu tahu.

Jari-jari malam mengadu pada bintang gejora

Menanti langit pekat terbias kerlip cahayanya

Namun bintang itu hadir mengurai air mata

Sebuah tangisan yg menggeliat dlm raga manusia


062. BUNGA SORGA

Seruak kelopak bunga gemulai menari

Terlena gerai rambut diterpa semilir nafas bidadari.

Ruas-ruas malam kagum tersenyum tujuh turunan

Terpesona lembut jemari bersambut di atas peraduaan.

gelembung buih di lautan membeku

Seketika lesung di pipi berlumuran madu

Melelehkan senyum berbunga sorga

Di laut dalam indah berpalung asmara

Lesu tak lagi bersarang keluh

Melihat senyum beraura teduh

Bunga itu bergantung di pelupuk mata

Sekali terpejam seribu tahun menderita.


063. TINGGAL KENANGAN

Aku tak pandai meniti buih di lautan

Untuk menyebrangi gelombang sebesar harapan.

Salahku bersandiwara dalam sepi

Kini hanya menjadi mimpi isapan jemari.

Aku sadari semua itu

Karena tanganku terlalu kasar untuk memetik jantungmu

Terlalu keras penuh kapalan

Pantaslah aku terlemparkan ke muara penyesalan

Siapa yang tak mau menelan tetesan cinta

Dari setetes air di padang sahara

Cukup melihatmu saja

Haus semusim reda seketika...


064. GELIAT LANGIT SENJA

Senjaku berirama mengikuti alunan nada

Dari desahan seruling berdengus prahara

Keindahannya hanya dalam lukisan saja

Seperti menghadapi pedang bermata dua.

Mata memerah nyaris warnai langit biru.

Sedangkan aku....

tak punya alasan utk membencimu.

Sebagaimana dulu....

aku tak punya alasan utk menyayangimu.

Disini...

Aku hanyalah serpihan beling bukan permata.

Setiap hari menggeliat terpapar matahari.

Mimpi-mimpi pun digerogoti semut lagi basi.

Sementara kau di sana bersinar sekilau mutiara.

Sudahlah...

Tak usah kau tanyakan lagi apa-apa

Dan tak perlu kau katakan lagi apa-apa

Jawabanku pasti sama...

Aku menahan sebuah cerita

Menjalani lakon yg tak sempat menuai tawa

Seperti yang dikatakan retak pada pecahan kaca.


065. TERHALANG DAUN SERANTING

Sore itu...

ingin ku tata kembali serpihan aksara demi aksara

Yang hanyut terseret peluh di tubuh renta

Ia yang selalu bercerita

Tentang untaian hening mahkota bunga

Lantaran derita tawa terhimpit dusta

Dan sapaku merangkum kecewa dirajam dosa...

Malam itu...

Ingin ku sambut purnama merindu

Dengan mendamba kehadiranmu

Aku yang ingin mendengar suaramu

Setelah sekian lama gelap menghalang

Menghilang di balik selembar daun ilalang

Maka....

Berteriaklah aku memanggil namamu

Sekeras petir menyambar ke seluruh penjuru

Namun suaraku hanyalah cicitan kelelawar

Harus luluh redam diperca daun di ranting mawar.

Raut malam semakin larut

Hawa dingin kian menggigit

Suhu jemari gemetar menggigil

Memainkan bara dg ranting-ranting kecil.


066. MENCINTAIMU DALAM GELAP

Perjalanan ini menguras air mata di linang hari

Sinarnya tak sesejuk embun di padang ilalang

kehangatan mentari pagi jua menghilang

terpental kabut setebal tujuh lapis bumi.

Waktuku terus berlalu...

Dan terus berlalu...

Tp sayang...

Tumitmu terlalu halus untuk mengikutiku

Terlalu jauh berliku

Terlalu terjal berbatu...

Tentu tak mampu membimbing perasaan liar dalam angan

Merobek jantung menggoncang iman

Lentera kecil dalam hati mencoba bertahan

Berkisah asmara menelan kepahitan.

Ikhlasku...

Memadu racikan suara bersekat kaca

Mungkin bahagia akan tercipta

terhibur keindahan putik berbunga

Atau tergores nista di bawah ranting cemara

Sayu mata rembulan menghias malam

Rasa sunyi menitipkan setangkai bunga dan sebait salam

Sehampa hatiku mencintamu dalam gelap

Harus tunduk pada kenyataan mengubur harap.


067. KUTAK SANGGUP MENYAPAMU

Terkadang, rasa takut ini lebih besar daripada isyarat mata

Hingga aku kalut tak sanggup menyapa

Dengan serangkaian kata sebagai kecupan mesra

Gerai gemulai jemari menutupi mata

Singgah di bibir lalu bersandar di dada

Saat seperti ini . . . .

aku tdk mampu mengubah deburan ombak

menjadi kata-kata indah nan bijak

Menyulap badai menjadi semilir angin

Melambaikan setangkai bunga untuk kusunting.

Sapaku bartabur bintang ku titipkan

malam berbisik hati ku curahkan

Menggeliat dalam do'a ku tuangkan

Raguku . . . .

Rayuku . . . .

Mimpiku . . .

Hidupku. . . .

Melalui sebait syair yg tak mampu ku kutuliskan...

Hanya dengan tinta emas dari tiga samudera.

Kerap mataku terpejam

Dan sapaku layu dalam diam

Meronta di atas pembaringan.


068. RINDU TERLARANG

Denting piano indah bermain di ubun-ubunku

Detak jantung berdenyut di atas bongkahan batu yang bisu

Hingga aku lunglai terjatuh ke dasar hatimu..

Terbentur kenyataan bersuara sumbang.

Sadarlah aku...

Hanya sebatang duri di tanah gersang.

Ku ikhlaskan semua waktuku yang terbuang

Bayang-bayangmu berbunga dalam mimpiku

Tapi, terlarang bagiku mengharap nyata...

Bayang-bayangku tumbuh menajdi benalu

Dan tak mungkin kau mempersunting-nya...

Maafkan aku . . . . .

Bila senyummu belum bisa ku kembalikan

Menggenggam sejerat janji yang kau lilitkan

Masih menggantung di kelopak mata

Untuk dapat melihatmu bahagia..

Tahulah sebabnya..

Engkau adalah orang pertama

Yang mewarnai hatiku dengan cinta

Serta legamnya darah dan air mata

Yang takkan luntur oleh suramnya senja.


069. SANG PEMUJA

Akulah sang pemuja..

Saat gelap

Aku bersimpuh bersama tembok bisu..

Saat terang

Aku berdiri bersama patung batu..

Saat malam

Kubaiarkan mata tak terpejam..

Untuk menjagamu dari buruknya malam..

Kasih...

Mengapa kamu diam...

Kini aku bergumam dalam senyum..

Bermanja  dengan tawa..

Oh andaikan saja...

Manteraku bisa merubah cipta...

Akan kupetik sekuntum bunga

Lalu... aku puja...

Hingga menjadi gadis remaja..


070. NAFAS KEHIDUPAN

Ada satu titik nafas

Itulah air mata hati

Tak kan hilang meski terbenam dalam linang.

Tertanam dari pertama aku memandang.

Semua kisah telah berlalu

Dan terus ku biarkan melaju

Serta hari esok tetap aku tunggu

Segarkan kisah yg tiada layu.

Segenap rasa menyerap di dada

Mengalir ke seluruh jiwa

Dari gelap yg aku rasa

Memyisakan sedikit tentangmu

Mampukah ku sunting namamu

Sementara. . .

bayanganmu selalu menghias

bagiku bayanganmu adalah nafas

Seperti udara yg ku hirup

Mengusirnya adalah

Membuatku  m  a  t  i . . .

071. CINTA YANG TERTUNDA

Kekecewaan bersembunyi

Di setiap rongga pori-pori

Hasrat bersimpul diantara rentetan cerita masa lalu

Lorong waktu seakan-akan mundur 15 tahun yg lalu.

Terpana. . . Kagum. . . Wajah termangu

Tak kuasa memandang wajahmu

Penuh luka dan kecewa terhempas waktu

Macan gelora cinta mengaum lewat bait puisi.

Geram geraham mengerang memaki diri.

Bebungaan yg terawat manja dlm hati..

Ku kira sudah mati. . . .

Kau cabuti. . . .

Untuk kau ganti. . . .

Eh, ternyata masih kau simpan rapi. . . .

Cinta yang tertunda menyisakan luka hati.

Teriris-iris se akan-akan tubuh terkuliti.

Jutaan rasa hangus terpanggang bara api.

Semuanya telah terjadi. . . .

Tak perlu kau ratapi. . . .

Seandainya bisa. . . .

Sungguuuuhhh....

Aku ingin kembali ke rahim ibu.

Ingin ku mulai derama yang baru.

Mengulang semua cerita yang terlewati.

Memungut derita cinta yang tersakiti.

Dibawah jembatan kayu sepi berteman mimpi.

Tak kan ku biarkan hilang kembali disapu sang bayu.

Akan ku bawa pulang serta bersamamu.

Dengan menutupi lubang semut tempat bersembunyi.

Aku bukan tupai bodoh untuk jatuh dua kali.

Bulan purnama yang ku tatap tak terlihat.

Seperti yang selalu ku sebut dalam munajat.

Rindu berkarat terkubur dalam lumpur derita.

Enggan bertutur kata karena kecewa dan luka.

Lantaran Cinta Yang Tertunda.


072. RINDU YANG TERTINGGAL

Lima belas tahun yang lalu...

Ku lukis bianglala

Dengan tetesan embun dari sorga

Setiap lengkungan menggoda jiwa

Kala itu...

Semua terlihat indah nyata

dalam dekapan raga pemuja cinta

Lima belas tahun yang lalu...

Ku bangun mimpi-mimpi kecil yang tercecer di jalanan

Memelihara angan-angan di penghujung kerinduan

Semua indah tersusun rapi di halaman jiwa

Bergelantungan semerbak senyum di pelupuk mata.

Lima belas tahun yang lalu...

Ku coba mengurai benang merahmu

Diantara rintihan dan jeritan kalbu

Sungguh. . .

Aku terbuai dalam mimpi-mimpi surgawi

Karena terlena padamu sang bidadari.

Di sana...

Hatiku terpaku dalam kubangan kemesraan

Tiada rela di jiwa untuk ku lupakan.

Mata hati... mata sang rembulan...

Bagai bersemedi di balik awan

Mata hati... mata sang kekasih

Rindu ini membara...

cinta ini mendidih...


073. SENYUMMU MEMBUNUHKU

Di danau asmara pantai cuma kamu

Tubuhku terayun oleh derap langkah waktu

Letih menelusuri ribuan detik kisah tanpamu

Bersama deru ombak dan panas mentari

Di bawah gubuk derita beratap rumbai jerami

Lirih nadamu penuh kepastian hampa tanpa rayu

Semilir angin pantai melucuti kerinduanku

Yg bertahun-tahun terpendam dlm kalbu

Deraian daun cemara diterpa angin pilu

Meremas-remas jantungku yg tak pernah layu

Kini...

Semua melepuh dlm celoteh bibir manismu.

Di hadapanmu aku merasa kaku

Detak nadi seakan-akan berhenti mengukur waktu

Sepertinya, senyummu t'lah membunuhku.

Di bawah gubuk derita

Sesekali air matamu menepi di sudut mata

Tanganku beranjak ingin menghapus dosa

Tapi. . .

Kau biarkan rohku terbang bebas berkelana

Penyesalan lumpuh tak berharga.

Aku bukan merayau atau menggoda

Mata hati . . .

Mata batin . . .

Belum melepas dahaga

Membelai lukisan mawar pertama

Penuh gairah bangkitkan semangat jiwa.


074. RINDU BERDARAH

Ku tatap wajahmu penuh rasa rindu

Ingin sekali-kali ku remas jantungmu

Tapi...

Aku takut luka masa lalu

Kembali menganga dan berdarah

Biarlah rindu ini ku tahan

Terkurung di nusa kambangan

memang tak pernah ku bayangkan

Mengunci kenangan penuh harapan

Seperti macan glora cinta

Tinggalkan mangsa dalam rimba

Esok hari pasti dijamah mata senja

Dan bayang-bayang fatamorgana

Pasrahmu legakan batinku yg terhimpit dosa

Sesak nafas kaki tangan terbelenggu

Ku kira utk siapa mawar melati berbunga

Pasrahmu pasrahku melebur menjadi tawa palsu

Retak muka remuk dada

Jika ku kalungkan padamu.


075. INGIN SELALU MENEMANIMU

Malam ini . . .

Ingin kuhadir ke dalam mimpimu

Menemani sunyimu melumat kegalauan

Sambil ku ceritakan indahnya mawar

Yang bertengger di telingamu

Menjadikan matamu berbinar-binar

Bercahanya seindah mercusuar

Menyibak buruknya malam

Hanya dengan satu kedipan mata

Dan senyummu tawarkan bisa kumbang

Jinakkan merpati dengan belaian kasihmu


076. PILIHAN GANDA

Sejak nafasku berhembus rasa

Tak sedetikpun bayangan tertinggal

Menari-menari diatas logika

Hanyut dipangku teman khayal

Maka pantas...

ku tak naik kelas...

Karena ujian...

ku jawab dengan khayalan..

Bila dihadapkan dengan pilihan ganda

Ketimpangan datang mendera jiwa

Cukup menakjubkan dan menyengsarakan

Menambah kegalauan dan kegelapan


077. TERHALANG KANVAS KACA

Tarian penaku menyekap riak rasa..

Mengusik rerumputan yang enggan menjawab tanya..

Mengapa aku bertemu bulan

Kalau hanya mengguncang harapan

Mengapa tidak bulan sabit saja

s  e  l  a  m  a  n  y  a  .  .  .  .

Agar tak mengharap cahaya lembut darinya

Dari pancaran malam-malam penuh tanya

hanya selembar kanvas kaca..

Yg mampu menyimpan lukisanmu..

Tangan tak sampai menyentuhmu..

Merabamu mengurai syahdu Kasihmu..

yg sempat menetes di kalbu..

Andaikan rayuku bisa meronai langit

Pasti ku ajak bintang gejora

Melengkapi cerita pelangi

Yg terputus oleh matahari

Dan menyebabkan ia terbakar.


078. SATU JAM SERIBU SATU MALAM

Kucoba menahan diri

Tapi, kuharap ini terjadi.

Lembut seperti sutera

Sejuk bagai angin surga.

Putihnya seperti kapas

Hangat bersuhu nafas.

Sunyi dalam kebisingan

Diam dalam kesibukan.

Getaran apa yg kurasakan

Mampukah kiranya engkau terjemahkan???

Kata bijak mengalir lirih tersusun rapi.

Mengharap waktu dapat sejenak berhenti

Di pangkuanmu, Istambul seperti dalam mimpi

Terasa kaki tak lagi berpijak di bumi

Terbang jauh tinggi bersayap pelangi

Lalu terbuai keindahanmu tiada bertepi

Lentik jemarimu merangkak di ubun2 dan pipi

Hingga sampai ke puncak keheningan sejati

Satu jam seribu satu malam

Di bawah pelangi kutemui burung-burung bernyanyi

Bernada cinta seirama petikan jari..

Tak kusangka sejauh ini pikiran bersayap

Menguasaimu sekejap dalam gelap..

Sajian rasa semakin liar percayara diri

Diantara harum bunga dan tajamnya belati...

Satu jam seribu satu malam

Lemaskan batang linggis..

Patahkan ujung keris.

Satu jam seribu satu malam

Tubuhku bagai dirogoh sukma burung elang

Dibawa terbang keangkasa melayang-layang

Jiwa tersesat sesaat di hilir perjalanan

Sembunyikan senyum di pangkuan bulan

Lepas nyaris hilang tampa lambaian tangan

Lalu...

Hati meleleh rindu berkembang

Terkurung manja di balik kerudung

Nostalgia ini tak kan pernah hilang

Walau bunga pesona itu telah dipetik orang

Andai waktu bisa aku sita

Aku ingin tetap disana

Menyandarkan kepala

Di pangkuanmu, puja

Walau satu jam saja.

079. PIARA LIUR


Bayang-bayang harimu menyandera jiwa

Hingga aku tak bisa kemana-mana

Hanya bisa mengintip

Dari balik bukit

Kadang tersenyum

Kadang menjerit

Indahnya ciptaanMu ya robbi

menyusup ke alam mimpi

Elokkan matahari yang terbenam

Kerlipkan gemintang hiasi malam

Gugusan senyum terbuka

Selimuti hari-hari yang tak biasa

Selaut mutiara ditimang renung

Kemilaunya menggetarkan detak jantung

Sembunyikan bayangan di balik teralis besi

Merahasiakan keadaan yang tak perlu diketahui

Oleh siapapun...

Termasuk kamu...

Sejuknya cahayamu terhalang bumi

Menyisakan bias yang kian tak pasti

Semburat noktah bercabang kebekuan

Diantara hitam dan putihnya keyakinan

Aku tidak sanggup...

Menahan ucap riuh makian dalam tubuh

Menekan kecup syair terkata lain di bibir

Ampuuunnn...

Kata-kata ini tidak bisa diteruskan

Menjadi kalimat yang dipahami perasaan

Cukuplah sepotong daging ini menjadi ladang subur

Ter-untuk rasa yang menghijau merumput liar

Biarkanlah... biarkan...

   Abaikan.....

        Hiraukan...

              Relakan...

                  Endapkan...

                       Diamkan...

                           Sembunyikan...

Percuma menggarami lautan

Bila asam di gunung bergantung di dahan

Ku titipkan pujiku pada embun pagi

Biar matang dimasak matahari


080. MAAFKAN AKU

kasih, maafkan aku...

Bila gagal aku menjadi matamu..

Utk melihat indahnya pesona langit biru..

Bukan ulat bulu yg aku janjikan..

Tapi...

kupu-kupu indah yang aku berikan..

Kasih, maafkan aku....

Bila gagal aku menjadi telingamu..

Utk mendengarkan lagu-lagu rindu

Bila kicauan burung-burung pengantar embun pagi..

Tak semerdu bisikan sapaku dalam bingkai puisi..

Maafkan aku sayang....

Bila gagal aku menjadi hatimu..

Merajai tubuh dan sukmamu..

Menjadi kelambu aura kasihmu..

Menjadi rumus dalam hitungan waktumu...

Mari kita buka lembaran baru


081. SIAPA AKU

(The Masterpiece from Zaini Dawa)

Sebait kata terakhirmu

Cukup meremuk redamkan kalbu

Senyum yang tersisa diakhir sapa

Mengguncang naluri merobek asa

Siapa aku?

Tak mampu ku menjawab dengan aksara

Aku yang tlah menggoreskan luka

Kembali menguras linang dinetra

Adaku serupa tawarkan harapan palsu

Diatas kenyataan nada sumbang hatiku

Kini kau tersiksa dalam dilema cinta

Tersebab bimbangku membagi rasa

Siapa aku?

Tak mampu kuurai dengan bilangan angka

Hitungan yang tak ada ujungnya

Serupa hasratku mengikuti gelora rasa

Lukamu tak terobati dalam hitungan masa

Mengendap bersama serpihan lara

(#editing by_kidung_perindu_asmaragama)

082. BELIUNG RASA

Siang sudah hampir hilang

Malam akan segera datang

Aku mulai berdikir

Meyebut nama yang terukir

Dalam hati tak bertabir

            Sirami redupnya malam

            Dengan tetesan embun di wajah

            Dan linangan air mata rindu

            Agar...

            Malam tak lagi dungu membisu

            Seperti yang dulu.....

Atas nama cinta......

Aku kalungkan matahari

Untukmu …

Yang slalu bersandar di relung hati

Agar raut beliung sunyi

dan rasa mati

Bersembunyi

di balik jari-jemari.


083. JERAT PERCINTAAN

Keluguanku berakhir selayu bunga..

Di saat aku msh segar mewangi

Kau jambangi dg janji bermutiara..

Aku percaya engkaulah penjaga hati..

Senandung titian rindu

Mulai berirama sendu dlm kalbu..

Decak kagum-pun tak terbendung lagi

Meluapkan untaian syair dan bait-bait puisi..

Aku tersenyum bila kutemui bahagia

Karena itu yg menghantarkan ke sorga..

Sorga yg kau ceritakan...

Sorga yg kau janjikan...

Seiring bergulirnya waktu

Sorga yg ku tunggu

Hanya goa berlumut biru..

Aku terus bertahan dengan janjimu

Hingga waktu tak ramah lagi..

Cahaya mentari mulai terbagi..

Sembari mengusik kejora dengan fajar

Membelai burung-burung tak bersangkar..

Dalam kepolosan piara kebohongan

Bertahun-tahun hidup dalam kebekuan.

Aku sadar...

Ternyata...

Senyummu hanya polesan kepalsuan.

Tapi, aku masih terkurung dalam keraguan.

Inikah jeratmu..

yang selama ini..

Aku tunggu..???

084. MAWAR BERDURI

Dengan mata telanjang

Ku coba menadah langit

                Menepis matahari...

                Mengais pelangi...

                Menapak bulan...

                Mengurung fajar...

Agar  dapat menjelma sukmamu ...

Tapi, Masya Allah....

Di langit kau telah meremas-remas rinduku yg terkelupas

Memapar taring–taring halilintar

Dan mengikir taring–taring petir

Dan, Subhanallah ......

Dinding kerajaan di relung hatimu

Begitu kokoh untuk bisa di tembus

Hanya dengan syair dan puisi

Dan, Innalillahi ...

Kini, beliung sunyi telah mati

Tertusuk bunga mawar berduri.

085. PERJUANGAN YANG SIA-SIA

Aku tahu suguhanku

Tak mampu mewarnai langit biru..

Namun hasratku begitu membara

Membuatmu tersenyum dan tertawa

Mengubur empati demi cinta suci

Membangun mimpi untuk kau hargai..

Kudapan pagiku menguras air mata

Padahal aku hanya ingin kau puja

Menjadi bagian gerak langkahmu

Menyambut nadaku dengan siulan merdu.

Bahagiaku hanya sebulir tasbih

Tersebab kicauan mesramu setumpuk buih

Tak segigih perjuanganku yg tersisih

Dengan menopang dagu rasa ini tertindih.


086. CINTA GILA

Mawar...

Engkau tak perlu bingung

Sebab bintang tertutup mendung

Engkau tak perlu bersedih

Walupun diantara kita harus ada yang tersisih.

Engkau tak perlu gelisah

Hingga tapak-jejak berujung pasrah

Laut mana yang tak bergelombang

Daun apa yang tak diayunkan angin

Ingat pantai yang akan menghentikan

Ingat ranting yang akan melenting

Mantra-mantraku berupaya mencari rupa

Pada setiap huruf-hutuf menitipkan raga

Raga yang terseret ke rongga kuncup bunga

Melanjutkan kisah cintanya Yusuf dan Zulaikha

Mawar...

Jika kata-kata ini berubah nama menjadi angin

Biarkan ia berdesir bertiup membelai rambutmu.

Biarlah ia bertiup memainkan lentera kecil di kamar pengaten

Biarlah ia sempurna memiliki tanpa engkau tahu

Jika benar cinta itu gila…

Hantarkan aku ke rumah sakit jiwa

Bekali aku sepatah kata

Akan aku tukar seribu daya

Jika benar cinta itu buta…

Berilah aku sepotong rotan

Sebagai mataku menjalani kehidupan.

Mawar...

tajamnya seribu duri menusuk kulit

satu dua hari pasti bisa kucabut

tapi, tidak...

Tidak dengan cintamu

biarkan tetap meruncing

Menusuk-nusuk daging

Aku tidak akan mati

tidak akan mati...


087. DILEMA DURI BERBUNGA

Sebuah perjalanan kembali menjemput

Sepotong jiwa yang lama tersesat

Batang-batang lapuk

Tangkai-tangkai tua

Daun-daun kering

Meronta menghunus rasa

Kujelajahi rimba relung hati

Yang penuh serat-serat ilusi

Kutata kembali seiris tawa

Dalam ruang tanpa cahaya

Yang didapat dari kesalahan rasa

Di antara dua pilihan ganda

Oh...

Aku pilih awal

Jika harus berdiri pada sebuah dilema

Namun...

Aku belum dihadapkan pada sebuah akhir..

Sementara...

Aku rela...

Memilih tersesat sementara

Dalam bulatan duri berbunga..


088. RINTIHAN BURUNG ELANG

Percuma sayap dikepakkan

Bila kaki tak mampu mencengkram

Asa melepuh seketika melepas tangan

Batin-pun berteriak dalam diam..

Oh.., mungkinkah dunia ini

Terlalu luas utk disebrangi

Atau sayap ini terlalu regang

Untuk menjemputmu pulang

Sebenarnya...

Aku tak ingin beranjak pergi

Meninggalkanmu sepi sendiri

Tapi...

Penjaga hatimu sedang menunggu

Sambil bermain-main di iris matamu.

Pergilah . . . . . !!!!

Biarpun cakar ini patah

Kau tak perlu lagi menoleh

Disana hatimu lebih indah..


089. MENUNGGU SEBUAH JANJI

Aku tunggu datangnya awan

Yang menjanjikannya hujan

Mengundang indahnya pelangi

Yang menjanjikan redanya gerimis.

Aku tunggu mekarnya bunga

Yang menjanjikannya aroma

Memikat lebah utk menjadikan ia madu.

Aku tunggu...

Hingga musim berlalu...

Tak ada ombak dan angin yg ditawarkan

Hanya kerontang debu yg bertebaran

Dan menjadikan ia membatu kepanasan.


090. AKU TAK INGIN PERGI.

Tujuh puluh tahun ku jalani semediku

Diantara ribuan jiwa dan kuncup bunga

Tak perduli jadi batu ataupun debu

Setiap hari ingin disapa

Oleh cinta dan tetes air mata

Bahagia sehari bersamamu

Seperti tujuh puluh tahun dlm semediku.

Kau hadir bagai tiupan angin

Kurasakan ada semilir di tubuhku

Entah kapan nyata akan menyibak semu

Bingung terasa bagai dlm labirin

Aku kembali tersungkur di sudut kamar

Ketika rona bianglala mulai memudar

Melebur dosa yg tak berangka

Membanting hasrat ke langit-langit mata

Rasanya tak ingin beranjak pergi

Tinggalkan bayangan ini...

Kaku digerogoti...

Janjinya sendiri...

Tak terpenuhi...

Bumi ini masih basah oleh gerimis air mata rindu

Bunga-bunga layu kembali segar seperti hatiku

Kembali hidup seperti dalam nyata

Dapat kupastikan "tangis jadi tawa"

Kita mulai mengikat senyum ceria

Diantara reruntuhan kerajaan hati

Kelak akan menjadi seikat bunga

Harum semerbak mewangi

Menjadi kebanggaan sejati

Walau kini...

Menjadi sesal abadi

Tertahan dalam hati.


091. BIDADARI TERSEMBUNYI

Hadirmu serupa desir angin

Dari setiap sudut pandang kutemui

Sentuhan lembut meraba segala yg ku punya

Derai.. derai.. mengundang keteduhan jiwa

Lelapku nyaris hilang terbawa kicauan burung2

Serta rengekan dedaunan terayu-ayun..

Kuasaku hanya tersenyum

Melihat pesona bidadari penuh kagum

Bersembunyi di balik serpihan mutiara kata

Indah bertebaran dimana-mana

Tapi, susah ditata menjadi satu prosa

Untuk meng-elok-kan seikat bunga...


092. MAWAR TUMBUH DIATAS BATU NISAN

Part I

Kelam senja meraba coretan lama

Gelap malam menelan kenangan silam

Keras batu karang berlumut hijau

Tegak tak goyah menepis ragu di balik dungu

Dalam ketiadaan lenyap sapa

Disina ada kehidupan baru

Tampa tetesan kilau air mata

Serbuk sarinya telah di pungut mimpi

Semerbak itu di gotong sebrang waktu

Bebungaan mengangguk di atas cadas buatan

Berjambangan kaku batu nisan

Mencoba melepaskan rasa

Menutupi ujung-ujung duri

Sunyi memang tiada bertepi

Siang menekan mimpi

Malam menggilas misteri

Siang bertudung awan

Malam berselimut embun

Oh, bunga mawar pesona seribu putik…

Dulu….

Tampa sengaja kusirami bebungaan

Dengan pancaran bianglala

Yang tertanam di halaman jiwa

Namun kini….

Ranggas daunnya

Luruh dahannya

Lepas rantingnya

Mawar itu tumbuh di atas batu nisan

Tiada pelipur, tiada penghibur, tiada penyubur

Pada tuhan ia berharap segara turun hujan

Berikan kesejukan pada hati

Semaikan kehidupan baru

Pada jiwa yang hampir mati.

Part II

Serbuk sarinya telah dipungut mimpi

Semerbaknya jg digotong ilusi

Bebungaan mengangguk di atas petilasan

Menempa ketulusan di atas kaku batu nisan.

Mencoba merayu diri

Serta menutupi ujung-ujung duri.

Sunyi memang tiada bertepi

Siang tertekan mimpi

Malam tergilas misteri

Wahai bunga pesona seribu putik..

D u l u . . .

Tanpa sengaja kau ku sirami

Dengan sebening air mata hati

Serta pancaran bianglala

Yang tertanam di halaman jiwa

N a m u n . . . .

K i n i . . .

        Ranggas daunnya

        Luruh dahannya

        Lepas rantingnya

Mawar itu terkulai lemas

Tersungkur di atas batu nisan.

Part III

Tahukah kau gemuruh di dalam dada..

Ketika badai rindu menyapu sendi-sendi jiwa..

Tahukah kau gelegar di dlm dada..

Seperti halilintar menjilati kepala..

Piyarrr.....

Meriam mendentum...

Peluru mendesing..

Yang sakit... menjerit

Yang tidur... tersungkur

Terkejut meliut melecut

Sembari tengadah menatap langit

Memperhitungkan nasib

Nasib bunga yg tumbuh di atas batu nisan.

Segenggam pasir di pantai

Hilang dalam angan

Sepijar asa hilang di tengah samudera

Serajut kata kecewa tercipta..

Terlunta-lunta..

Meronta tersiksa..

Dalam lipatan cinta..


093. BAYANGANMU

Malam ini...

Kembali kuhadir menyapamu

Lewat sepotong puisi

Duhai... bayangan hidupku.

Rasa yg dulu pernah ada

Terhempas lesu di pucuk-pucuk daun

Terbawa semilir angin

Hingga samar-samar menanti seberkas cahaya.

Sedikit kisah tertulis di atas kertas

Sekilas mendekat lalu menjauh

Terus menjauh lalu mendekat

Meraba rindu yg tak mungkin tersentuh.

Bayang-bayangmu menjadi teman imajinasi

Mengikuti dalam terang

Menghantui di setiap sudut malam

Hingga mimpi tak lagi sunyi sendiri.

Sekeping hati tetap berharap

Tak ada lagi air mata yg tersiksa

Di sepanjang lorong perjalanan hidup

Tersebab jalan yg berbeda.

Tapi...

Benturan awan kelabu menghujam nadi

Merangkulmu tak mungkin terjadi

Melepasmu pasti menyayat hati

Biarpun sekujur tubuh tertusuk duri

Ku gantung dirimu di relung hati.


094. MELIPAT TATAL DUKA

Jauh sudah aku menapaki

Jalan-jalan berkerikil tajam

Biarpun tapak bengkak

Asalkan hati tiada sunyi

            Karenamu.....

            Tinta ini kembali kutuang

            Basahi cinta ang nyaris hilang

            Tebuang di gelanggang juang.

Karenamu.....

Kulipat tatal duka

Kurapikan sepihan asa

Agar tak patah senyummu

Dan tak rapuh bahagiamu.


095. PEMUJA CINTA

Getar-getar halilintar tak bercadar

Melingkar dibalik cakar

Aku laksana kayu bakar

Bediri tegak berakar

Berlari mengejar fajar

      Sang pemuja cinta kini bersimpuh erat

      Dalam gubuk bisu betis berlipat

      Tangan hampa terangkat merapat

      Mengadu pada tuhan pemberi rahmat

      Tentang nostalgia yang masih bersimpul erat

Tirai-tirai mantra mendupa cipta

Menjampi asap kemenyan lalu di puja

Hingga..... Menjadi..... sekuntum bunga.


096. MENIMBANG RASA

Dalam sukma ada tanya

Pada bunga yang tak berdaya

Haruskan aku menjadi kupu-kupu

Minum dari pucuk-pucuk layu

Atau menjadi burung terbang

Hinggapi tangkai-tangkai malang

Mungkinkah dungunya fajar

Mampu melerai embun yang terlempar

Sementara aku di sini....

Menghisap sejuta damba

Memupuk asmara di halaman jiwa

Mengurung rindu di permukaan senja

Mengasah cinta pada rona bianglala

Agar...

Pesona di dasar laut

Dapat segara dipungut

Oleh dua hati

Sepasang merpati.


097.MEMBUNGKUS RIAK RASA

Bagai halilintar tersungkur di sudut malam

Yang ada hanya kelam

Yang ada hanya diam

Semuanya sunyi membisu

Dari gundukan salju

Kulontarkan teriak

Kugoncangkan hasrat

Bersama kepercayanku untukmu....

Dari pucuk-pucuk pohon pisang

Kubungkus gelora riak rasa

Yang bercerita tentang rumbai-rumbai janur kuning

Yang betengger di pintu dan jendela.


098. BALADA CINTA

(Puisi kolaborasi)

Sayang..

Dhalem ..."

Hmm ...Terasa indah saat kata itu terucap

Seolah mendutakan perasaan kita yang bahagia

Melupakan beban hidup menjeda sesaat pada akrab erat

Menjabat nyata rasa terpadu menyatu  dalam senyuman

               (Karya: may Hawa)

Duhai... bunga pesona seribu putik yang punya bibir merah merlumuran cinta

"Ya sayang..."

Tahukah kau bara di dalam dada??

Dia yang membakar keraguan hingga terpisah abu dengan arangnya.

Menyulut kebekuan di rona perjalanan hidup kita

Aku merasakan getaran-getaran cinta

Yang selama ini membutakan mata.

Aku telah merasakan dahsyatnya gemuruh rindu

Yang selama ini menderu menepis batin tak menentu

Sayangku..

Dhalem..

Senyummu itu...

Endapkan buih mengapung di lautan

Untuk ku jadikan titian penyebrangan

Arungi lautan kasih yang selama ini tertahan

Terjaring alis dan lentik bulu matamu

Ku bentangkan cintaku di langit biru

Melintang jadi cakrawala...

Melengkung jadi bianglala...

Karena aku tak ingin cinta ini menjadi lesu dan berdebu

Oleh kepantasan yang tak mungkin dipahami se-usap lara.

Ku asah mataku pada keningmu

Hingga menjadi pahat bermata sayu

Kuukir hatimu di setiap malam-malamku

Dengan cinta dan rindu yang menggunung

Hingga tumbuh berjuta rasa menyelubungi jantung

Sayang..

Basah hatiku...

Diguyur kata-kata bermutiara cinta.

Begitu pula

Berdesir... hatiku sayang

Terhembus angin kemesraan bersamamu.

               (Karya: Zaini Dawa)

099. KUDETA CINTA

Semilir angin mengusap rasa yang pernah merajai hati

Tersirat bayangan sendu di ruang hasrat imaji

Kidung asmara mendesah nafas pilu di setiap eja

Merasakan pahitnya titian sapa diretas kudeta cinta.

Ke manakah kiranya hatimu bertandang

Menjemput seruas hasrat dalam satu pandang

Membawa serpihan-serpihan fatamorgana

Memadukan waktu dapat kupeluk erat mesra.

Aku tidak mampu melawan kehendak Tuhan

Yang menunutunku melalui isyarat kedip rembulan

Kepada hujan yang selalu bercerita

Melalui irama rintik tulus beningnya

Seperti bait-bait rinduku yang kerap berharap

Suatu saat ia akan menetes membasahi hatimu.

Aku tidak perlu menghitung detak jantugmu

Ataupun mengukur kedalaman air matamu

Semuanya bergerak tiba-tiba dan menjadi kaku

Semuanya berjalan seperti yang dinazarkan kupu-kupu.

Engkau adalah elok senja yang dikalahkan angin

Bertaut selaksa riuh gelap di bibir cakrawala langit jingga.

100.   GEGGHER TAK E OCOL

Gembang se egembar e dhalem sorat

Onggu sampek sateyah paggun e rabet

Engkok tak bisa ngosot apa pole a romet

Dinah makkeh sampek'ah bileh eareppah

Eareppah cengarah jek sampek elop

Tapeh pas kabedeen tak padeh ben pangarep

Hokom adet ben tengka se adeddiagi lontorah panganggep

Duh angin...

Arapah mak tak e kabele sajujureh

Jek saonggunah gik padeh saleng ngambek

Sampek sateyah omur lah talebat

Sampek gembangah lah e petthek oreng

Ancor tang ateh

Remmuk tang dedeh

Mun engak dhek ka robenah

Mun engak dhek caretanah

Se ajelenin odhik pangistoh

Akaton tak dhek'iye'eh deddinah

Gembang se gegger paggun e pergem

Tak taoh jek bedeeh durinah

Tak taoh jek bedeeh gettanah.

Kastah gun kareh kastanah

Gembang elop tadhek bunganah

Dusah gun kareh dusanah

Agebei pangarep se tadhek buktenah

Dhekremmah gun se mintaah saporah

Ben se mabeliah misemah.


Translate

GUGUR DALAM GENGGAMAN

Gambar bunga di dalam surat
Sampai sekarang sungguh masih terwat
Aku tak kuasa menghapus apalagi meremas
Biarlah sampai kapanpun tetap berharap
Berharap selalu tetap segar
Tapi, keadaan tidak sesuai dengan harapan
Hukum adat dan tradisi telah meluh lantakan sapa

Duhai sang bayu...
Mengapa tidak engkau ceritakan sejujurnya
Bahwa sesungguhnya masih saling berharap
Hingga usia menjadi senja
Hingga bunga itu dipetik orang

Hancur hatiku...
Remuk dadaku...
Bila ku kenang raut wajahnya
Bila ku kenang ceritanya
Menjalani hidup dengan cinta
Tak terbayang akan begini jadinya
Bunga yang jatuh masih dalam genggaman
Tanpa mempredulikan durinya
Tanpa mempedulikan getahnya

Penyesalan tinggallah penyesalan
Bunga itu layu tanpa bahagia
Dosa tinggallah dosa
Memberi harapan yang tiada wujudnya
Bagaimana caranya meminta maaf
Dan mengembalikan senyum manisnya
.

Tidak ada komentar:

RAPUH

Puisi Prosais (Zaini Dawa) Bisaku tawar dalam sunyi Lenyap sapa ronta aksara Tampak rupa kurasa hilang kujaga Betapa rapuhnya aku menanggung...