Sabtu, 25 Desember 2021
NASKAH 50 PUISI
Jumat, 19 November 2021
SILSILAH ZAINI DAWA
Rabu, 03 November 2021
HAKIKAT
Senin, 25 Oktober 2021
💞 SARANG CINTA 💞
💞 SARANG CINTA 💞
Karya: Zaini Dawa
Di sini, kurasakan ada getaran
nian mengharumkan jagat aksara
Aromanya tercium sampai ke lubuk hati
Menyemai senyum dari sisa sisa air mata
Di sinilah rembulanku purnama
Di sini pula kumaknai jingggamu sebagai peraduan malamku.
Di sisni..
Kutemukan sesuatu yang istimewa
Ada kemilau permata yang terhalang pelangi
Izinkan aku merajutnya dengan urat nadi
Agar mimpi-mimpi indah tak ngambang dibawa angin.
Bukalah pintu hatimu lebar lebar untukku
Dan jangan pernah kau menutupnya
Sebelum aku bangunkan tajmahal di dalamnya
Setelah itu tutup kembali rapat rapat
Biarkan aku sendiri di dalam
Aku takkan pernah bosan.
Dan lagi...
Jangan sekali kali kau berikan kunci brangkas hatimu kepada siapapun
Sama sekali jangan...
Karena sekali jatuh aku tidak akan bangkit lagi
Aku masih menganggap hatimu sebagai sarang cintaku
Sebagai peraduan hidup dan matiku
Sumenep, 22 oktober 2021
Senin, 11 Oktober 2021
Kalau Saja Kekasihku Sehat
Rabu, 29 September 2021
JANGAN SEBUT DIA SETAN
Senin, 30 Agustus 2021
AKU BENAR-BENAR PAYAH
* peribahasa madura "keringat kuning" berarti keringat terakhir saat bekerja keras atau bisa dimaknai "puncak kelelahan
Senin, 23 Agustus 2021
RUMAHKU
Sabtu, 14 Agustus 2021
BUAYA SATU MUARA
Minggu, 25 Juli 2021
MALING-MALING BANGSAT
Jumat, 25 Juni 2021
LUBANG-LUBANG KECIL BEKAS GALIAN CINTAMU
LELAKI PECUNDANG
Selasa, 11 Mei 2021
PUISI HARI RAYA AIDUL FITRI
Rabu, 28 April 2021
Senin, 26 April 2021
TAKJIL
AIR MATA TERAKHIR
Rabu, 31 Maret 2021
Jumat, 19 Maret 2021
CEMAS
Sabtu, 27 Februari 2021
ZAMAN BATU
Senin, 08 Februari 2021
KUMPULAN PUISI SAJAK PEMBERONTAKAN (koleksi 100 puisi cinta)
Daftar isi.
001. ZAMAN BATU
002. Negeri Di Balik Api
003. Cinta Dan Kematian Penyair
004. Rindu Apa Ini
005. Negeri Jangkrik
006. Negeriku Negeri Tikus
007. Bila Money Politik Dihalalkan
008. Masakan Ibu Pertiwi
009. Permen Poli Tikus
010. Keringatku Lebih Wangi
011. Bumiku Di Musim Saweran
012. Petik Bintang Jatuh Rembulan
013. Mencari Muka
014. Derama Cinta Babi Buta
015. Riuh Dalam Sunyi
016. Corona Dalam Sajak Tuhan
017. Isolasi Romadlan
018. Rindu Menangis Lagi
019. Panorama Indah Berbuah Lebat
020. Sumpah Amukti Palapa Sumpah Pemuda
021. Harga Darah Pejuang
022. Sajak Pemberontakan
023. Penjajahan Belum Berakhir
024. Reaksi Bom Hiroshima Nagasaki
025. Tak Akan Lunas Terbayar
026. Dalam Tempurung
027. Do'a Dan Harapan
028. Dermaga Perpisahan
029. Pesan Perpisahan
030. Mengenang Jasa Guru
031. Kidung Perpisahan
032. Kasih Ibu
033. Nawala Cinta Seorang Anak Kepada Ibu
034. Aku Mencintaimu Melebihi Batas.
035. Anugerah Terindah
036. Cinta Sejatiku
037. Terpaksa Aku Iklas.
038. Pengkhianatan Cinta
039. Sendiri Kesakitan
040. Masih
041. Bunga Layu Dalan Kaca
042. Sahabat DUMAY
043. Air Mata Bianglala
044. Rindu Berat
045. Tumitmu
046. Bunga Dalam Kaca
047. Tak Sampai
048. Alasanku Mencintaimu
049. Engkau Tulang Rusukku
050. Teriak Mesra
051. Surat Kecil Untuk Kekasih
052. Jera Jatuh Lagi
053. Cinta Dalam Sepenggal Mimpi
054. Gejolak Rinduku
055. Cinta Berujung Sembilu
056. Titik
057. Aku Dan Puisiku
058. Cintaku Yang Remuk
059. Tertambat Pengkhianatan
060. Sepi Menjemput Air Mata
061. Rapuh Dalam Raga
062. Bunga Surga
063. Tinggal Kenangan
064. Geliat Langit Senja
065. Terhalang Daun Seranting
066. Mencintaimu Dalam Gelap
067. Tak Sanggup Menyapamu
068. Rindu Terlarang
069. Sang Pemuja
070. Nafas Kehidupan
071. Cinta Yang Tertunda
072. Rindu Yang Tertinggal
073. Senyummu Membunuhku
074. Rindu Berdarah
075. Ingin Selalu Menemanimu
076. Pilihan Ganda
077. Terhalang Kanvas Kaca
078. Satu Jam Seribu Satu Malam
079. Piara Liur
080. Maafkan Aku
081. Siapa Aku
082. Beliung Rasa
083. Jerat Percintaan
084. Mawar Berduri
085. Perjuangan Yang Sia-sia
086. Cinta Gila
087. Dilema Duri Berbunga
088. Rintihan Burung Elang
089. Menunggu Sebuah Janji
090. Aku Tak Ingin Pergi
091. Bidadari Tersembunyi
092. Mawar Tumbuh Di Atas Batu Nisan
093. Bayanganmu
094. Melupat Tatal Duka
095. Pemuja Cinta
096. Menimbang Rasa
097. Membungkus Riak Rasa
098. BALADA CINTA
099. KUDETA CINTA
100. Gegger Tak e Ocol
001. ZAMAN BATU
002. NEGERI DI BALIK API
Cintamu...
Bersemi di balik api
Liar menjalar
Berkobar menebar abu jahannam di negeriku.
Keringat bicara api
Air mata bicara api
Tangan bicara api
Api membara keji beraksi
Kanibal elit memangsa bangsa sendiri.
Hutan-hutan sepi kicau burung
Pasar-pasar sepi pengunjung
Gunung-gunung ditinggal petualang
Dan ranting-ranting kering
adalah selingkuhanmu menangkis tuding.
Ego menyala
Serakah membara
Cintamu membakar aroma do'a
Hilang pura-pura
Dusta berganti.
Engkau bersiul
Tenggelam kenikmatan
Larut ke dalam secangkir kopi hitam
Sisa permainan api semalam.
Aku mengorek tumpukan abu yang terpanggang
Di sini ku temukan
Cintaku hangus
Rinduku hangus
Mimpiku hangus
Harapanku hangus
Kebenaran hangus
Keadilan hangus
Dilalap sumpah yang tidak becus
Dan urat malumu yang terputus.
003. CINTA DAN KEMATIAN PENYAIR
Inilah aku
Sesosok tubuh yang tak dihendaki penguasa
Inilah aku
Bait-bait puisi yang ditulis dari nyawa manusia
Ditendang sepatu pantofel
Dihantam batu amoral
Perkenalkan..
Aku seekor burung hantu yang berkali-kali mati
Lalu hidup lagi
Berkali-kali terbuang
Lalu kembali berjuang
Sebab aku mencintaimu.
Perkenankan aku berkicau riuh
Menari-nari menyaksikan tawa bodoh
Memburu gemuruh rentak kepalsuan
Karena diamku adalah kematian
Perkenankan aku menggoyang pohon yang berbuah lebat
Sekalian aku kumpulkan menjadi sajak bermata celurit
Karena diamku adalah kelaparan.
Tanganku gemetar diatas tanah pengecut
Menyaksikanmu dalam kondisi gawat darurat.
Aku tak perlu mengisap cerutumu
Karena aku lebih memilih duduk bersama mereka
Sekalipun terluka
Sekalipun terasing di rumah sendiri
Dari pada menyaksikan bercak darah esok pagi
Sebab aku mencintaimu.
Saksikanlah wahai generasi bangsa
Bagaimana bapakmu beringas seperti setan
Bagaimana pamanmu diamuk tanpa ampunan
Bagaimana kakakmu ganas melawan.
Tubuh yang kokoh
Penuh wibawa
Seenaknya melonggarkan kain kematian
Mengerahkan cakar di balik dingding
Menembus kulit, daging, dan jantung.
Mulut mengumpat
Seperti mulut orang-orang terhebat
Tangan menampar
Seolah-olah peluru nyasar
Kaki menerjang
Sekan-akan kekuasaan itu warisan nenek moyang.
Kalian pikir..
Kematianku adalah kemenanganmu
Oohh.. tidak
Aku akan bangkit
Dan melahirkan ribuan prajurit
Dari setiap diksi yang kubangun
Pujangga bangsa pancasona tanah air
Abadimu...
Abadiku...
Bergulir larut dalam darah penyair.
004. RINDU APA INI
Kata yang sering terucap dalam sunyi
Terdiam merintih di tempat sampah
Keributan manusia seolah-olah tidak dimengerti
Engkau menghilang tinggalkan perih.
Cintamu diusung semut
Rindumu dikerumuni lalat
Engkau tersesat di jalanmu sendiri
Lalu kau ketuk pintu rumahku lagi
Untuk apa?
Cukup aku saja yang merindukanmu
Sebab disini masih kemarau
Sementara
Tenda yang kudirikan di bawah pohon gaharu
Masih memberi kesejukan asa dan hangatnya musim lalu.
Bila cintamu tertukar di atas permadani
Dan janji-janjimu hanyalah sebuah alibi
Untuk apa engkau sebut itu rindu
Cukup aku yang merasakan suka dukanya menunggu.
Cukup sekali ini saja aku salah memilih
Harapan sejahtera pengkhianatan diraih
Terimakasih....
Rindu ini telah kutulis pada gemuruh angin
Biarkan ia bercerita pada setiap kota yang di laluinya
Biarlah mereka semua mengabadikan
Menulisnya kembali pada cadas pusara.
005. NEGERI JANGKRIK
Kisah seekor kancil di sebuah republik dongeng
Ceritanya menggelikan anak kecil
Ia tertangkap basah mencuri mentimun
Pak tani geram
Membidik maling besar di lubang jarum
Si kancil malah tersenyum
Pak tani terbuai kagum
Sandera tawa menawan tenggang rasa
di lantai abdi tahta menyapu bersih kotoran telinga
Mencuci tangan di dalam kantong plastik
Senyum berpapasan dilirik mata jangkrik
Mereka berbisik seramah adat ketimuran.
"Ello ngerti gue paham"
"Ello diam kita makan"
"Ello teriak gue hantam"
"Ello maksa kita busuk bersama"
Aku butuh selembar pinta
Dan engkau punya selipat dusta
Pangkas sini tilap sana
Lalu kau sembunyikan di dalam saku celana
Seribu cara kelabuhi daya dan upaya
Ahh... itu tidak apa-apa,
yang penting kita bisa berleha.
Kita kenyang biarlah mereka berpuasa
Kesepakatan tak bermatrai
Tersembunyi megah di balik tirai
Saksi mata dibuat gerah kepanasan
Perintah dan larangan, janji dan ancaman
berputar-putar mencari pentilasi
di ladang reputasi birokrasi
Media massa menelanjangi mata manusia
Kitab dan undang-undang dibiarkan tersingkap terbaca angin
Hingga mata tak lagi lihai memainkan pena di udara
Sebelas dua belas tikus dalam gudang raskin
Pengawas dibikin waswas
Petugas disuntik beringas
Pengacara banyak cara
Penguasa makin leluasa
Rakyat jelata tetap saja melata...
Lunas boss..
006. NEGERIKU NEGERI TIKUS
Pak...
kau berdasi bukan karena hebat
Tp, karena kamu mampu membeli nurani rakyat.
Pak..
Kau berdasi bukan karena luar biasa
Tp. karena kau pengecut mencuri data
Lalu kau menagihnya kembali dengan kekuasaan
Korupsi merajalela tertangkap tangan
Jadilah negeri ini negeri tikus
Kau nahkodai negeri ini dg keserakahan
Uji coba aturan yang kau buat berbuah kekerasan
Kami mencoba menyuarakan kebenaran
Tapi kau anggap arogan
Kami pemilik bangsa indonesia
Darah kami terbakar
Melihat saudara-saudara kami yang memperjuangkan nilai-nilai pancasila
Menyelaraskan aturan agama dan negara
Harus melawa water canon..
Tembakan gas air mata...
Sadisnya amukan petugas..
Jadilah negeri ini negeri tikus
Kapan suara kami akan terdengar
Bila suara kami kau anggap provokator
Lebih baik lepas dasimu
Daripada memcuci darah warga,
mahasiswa,
polisi,
tukang parkir
Buruh
Dan seluruh lapisan masyarakat yang peduli keadilan dan kebenaran.
Jadilah negeri ini negeri tikus
Negeri ini tidak butuh orang pintar
Pintar mengotak atik undang undang dasar
Negeri ini tidak butuh manusia kerdil
Yang takut undang-undang hukum pidana yang sudah ada
Jabatanmu tinggi tapi hargamu rendah
Pengetahuanmu luas tapi bodoh
Sebab otak kau taruh dalam perut
Jadilah negeri ini negeri tikus.
007. BILA MONEY POLITIK DI HALALKAN
Berdandan di langit
Berkaca pada air laut
Menghiasi diri dengan polesan citra
Aroma senyum terlempar ke jantung udara
Menutupi cahaya matahari dan lubang-lubang revolusi
Kesedihan binatang melata meneteskan air mata dua kali
Diguncang degup jantung bumi yang bergejolak di dalam perut ibu pertiwi.
Sepayah ini kah bangsa ini..!!?
Bila tidak ada yang lebih mewah dari pada cabang lidah
Cerita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Tersembunyi azas bilah bambu di semak-semak belukar
Sebodoh ini kah bangsa ini..!!?
Bila bendera menancap di ubun-ubun menusuk sendi-sendi kerabat
Meregang ikatan tali kasih yang erat merekat
Hingga tulang-tulang lebih renyah dari pada daging
Permusuhan tumbuh subur di setiap pagelaran pesta demokrasi
Linggis tegak mencari solusi
Celurit meliuk keluarkan resolusi
Semiskin inikah negeri ini..!!?
Bila money politik dihalalkan
Rakyat kecil makan raskin
Panguasa makan semen
Harga murah di mulut mahal di timbangan
Lantaran memperjual belikan takdir
Seharga nasi bungkus di trotoar
Separah inikah negeri ini..!!?
Bila penjara lebih mewah dari pada rusunawa
Hingga lapas lebih menjamin kemakmuran kolega...
Rekan kerja...
Sahabat dan keluarga...
Oohhh bangsaku, bangsa Indonesia...
Menangislah..!!
Selagi air mata mampu menggoyang rumput yg tak diharapkan tuan-tuan berdasi
Berteriaklah...!!
Selagi suara mampu menahan luka
tancapan batang bendera di rumah kura-kura
yang dikibarkan politisi di ubun-ubun kepala
Menjeritlah...!!!
Sekuat amarah menekan kebebasan bersuara
Seribu delapan ratus hari jalani tapa brata
Untuk menyumpal janji-janji mulut sumur tua.
008. MASAKAN IBU PERTIWI
Ibu pertiwiku tersenyum tua
Memasak di dapur untuk anak-anaknya
Yang hendak pulang kerja
Hemm..
Cucur keringat mengaroma di tubuhnya
Sedapkan makanan kesukaan mereka
Mereka pun datang petangtang-petenteng berdasi
Duduk di kursi bersama rekan koalisi dan oposisi
Lalu makan selahap-lahapnya seperti besok mau mati
Ibu pertiwiku hanya gigit jari
Melihat maknan habis sisanya dikemasi
Masuk ke dalam rangsel lalu pergi lagi
Ibu pertiwiku tersenyum tua
Memaksa diri untuk memasak lagi
Untuk anak-anak yang masih sekolah SD
Kali ini masakannya tidak sesedap tadi
Karena peluh keringatnya sudah habis untuk mewangi
Oh, Ibu pertiwiku...
Aku anak bungsumu ingin tertawa
Hahaaa...
Sepuas ragaku menganga hahahaaa...
Tapi, hanya aku yang tau lucunya
Mereka pasti menganggapku gila
Padahal kegilaanku tergelitik tingkahnya
Yang menghabiskan makanan hingga tulang-tulangnya tak tersisa
Ibu pertiwiku..
Anjing dan kucingmu kurus sekali
Mereka kurang vitamin dan gizi
Makanannya dijarah setiap hari
Oleh mereka, anak sulungmu yang suka makan argumentasi.
009. PERMEN POLI TIKUS
Di tengah terik matahari dan taufan
Batang-batang lapuk jadi rebutan
Pasang senyum di pinggir jalan
Anggun indah bergelantungan
Santun sapa bertapak tangan besan.
Perempatan paling strategis
Tiang listrik pajangan gratis
Tembok tua pilihan nian gelis
Keriput kertas ber-irama romantis
Dalam perselingkuhan janji-janji manis.
Tak lesu sapamu mohon restu
Pada setiap manusia yang berlalu
Semangat juang membungkus malu
Tak keluh bila sapa terabaikan
Tetap tegar tawarkan permen rayuan.
Semut-semut penasaran itu permen apa
Dibungkus warna-warni bendera
Enaknya hanya di telinga saja
Mengandung pemanis dan pewarna
Yang dapat mencemari cita-cita bangsa.
Anak-anak kecil yg berlalu
Menyambutmu dengan haru
Berduyun-duyun mendorong mobilmu
Lalu berkata "dia adalah tuan baru"
Pemilik produk PERMEN berkutu.
010. KERINGATKU LEBIH WANGI
Hari ini
Ku petik matahari
Ku remas jadi bulan
Lalu ku gelar jadi sapu tangan.
Ombak laut ku gulung
Awan hitam ku retas
Tulang-tulang ku banting
Sekuat keringat ku peras.
Sudahlah...
Tak usah kau sihir aku dengan rayuan.
Dengan bujuk rayu syetan
Keringatku lebih wangi
Dari pada parfum yang kau beli
Keringatku lebih berbunga
Dari pada petuah-petuah
Yang berkarat di ujung lidah
Dan meregang di lebat rimba
Sudahlah...
Jangan kau tabur kerikil neraka
Dengan sesuap iba
Ketulusanmu melalap paradigma
Miris terbakar empuknya kursi kehormatan
Tak pelak jiwa ini merogoh sukma seekor bunglon
Selamanya melata....
merangkak....
tertekan
Menjadi penakut yang dihianati
Oleh pengecut yang dicintai
Sudahlahhh...
Tak usah kau pura-pura menjadi abdi
Keringatku akan menjadi selimut di musim hujan
Dan menjadi mata air di musim kemarau.
Aamiin...
011. BUMIKU DI MUSIM SAWERAN
Bumiku berbisik pada rumput yg bergoyang
Tentang rupa yg menghilang
Sebelum bendera dikibar setengah tiang
Mantra kemenyan tercium roh nenek moyang
Mengepul di bias malam
Berasap api dalam sekam
Membara dipundak cucu sakera
Baunya anyir membusuk berbagi neraka.
Kibas-kibas selendang bertabur pandang
Gemulai Mengikuti tabuhan gendang
Sinden menari menyusuri permainan
Menebus mahalnya harga senyuman
Saweran berbunga mawar
Bersemi menyerang fajar
Dalam sapa bertaruh mahar
Teror
gempar
Menggelegar
Duaaarrrrr....
Rekayasa memaksa berpura-pura
Terpojok dihimpit beratus sabda
Hari ini diundang
Besok lusa terbuang.
Burung-burung riuh berkucau berebut tetes air hujan
Yang dijanjikan guntur silam kehausan
Taruhan
Suguhan
Hadiah
Sedekah
Melebur menjadi seliut saweran
Wallahu A'lam....
012. PETIK BINTANG JATUH REMBULAN
Letih. . . .
Ku menata hati dg serpihan kasih.
Sedih. . . .
Ku mengintip namamu dari bilik putih.
Bunga-bunga segar kini gugur di tengah jalan
Seperti memetik bintang jatuh rembulan.
Dulu. . . .
Janjimu manis seperti madu.
Kini. . . .
Madumu menjadi racun di hatiku.
Satu persatu urat nadiku terputus
Oleh senyummu yg pura-pura tulus.
Nyamuk-nyamuk nakal saja dapat menista
Dengan memeluk dekap yg setia
Dan menindas kutu-kutu berbisa.
Kata-katamu ku anggap bertuah
Kau tunjukkan segala arah
Tumit-tumit kasar-pun beranjak melangkah
Mengikuti telunjukmu yg tajam penuh darah
Sementara mulutmu tersenyum
Saat mataku terpejam.
013. MENCARI MUKA
Sebenarnya..
Aku sudah lama aku tidak mempercayaimu
Aku pura-pura saja mengagumimu
Aku hanya mencari muka
Seperti engkau dulu mencari muka
Di depan pemuka-pemuka desa
Bagaimana aku bisa mempercayaimu
Sedangkan engkau seperti udang di balik batu
Berlagak seperti katak memikul kerbau
Mana bisa sayang...!?
Bagaimana aku tidak berburuk sangka
Bila rupamu rupanya berupa-rupa
Tutur bahasamu melebihi rayuan remaja
Empuknya seperti kursi yg kau duduki disana
Menjanjikan kemilau emas berlian
Menjamin kemewahan menu beragam varian
Waahhh... mana bisa sayang...!?
Di mataku
Engkau hanya pencari suaka
Engkau kemari hanya mencari muka
Aku pun pura-pura bego mencari muka
Kita terlalu jauh dari tulus dan begitu dekat dengan apus
Mukamu romantis
Hatimu komunis
Karena itu..
Aku lebih memilih bisu dalam gejolak
Ku bikin telingamu kelak merindukan suaraku
Suara yang dirindukan petani
Nelayan, buruh, pedagang kaki lima dan kuli.
014. DERAMA CINTA BABI BUTA
Aku merasakan pekatnya langit
yang diceritakan para leluhur
Asap menghitam oleh persekutuan batu dan debu,
kerikil dan pasir.
Sumur-sumur kering menua
Tertimbun bangkai binatang menelan kehausan
Untuk menikmati gemulai mata air tanah ini.
Aku merasakan pekatnya langit
yang kemaren di ceritakan biyung
Daun-daun menguning
gugur sebelum berganti musim
Paru-paru bumi sesak oleh asap cerutu
Kupu-kupu tak dapat menghisap sari-sari bunga lagi
Burung-burung tak mampu mencium aroma kening bumi.
Aku merasakan indahnya langit biru
Yang kemaren diceritakan pendongeng
Para kekasihku tertawa bahagia
Bayi-bayi yang lahir langsung tersenyum
Mendengar suara mesin ATM.
Aku meyakinkan diri
Bahwa penderitaan ini
Akan berakhir sampai disini.
Tapi,
Rumahku digerogoti rayap
Yang tak mengenal apa itu kayu,
apa itu bambu, apa itu batu.
Kekasihku yang tahu itu ingin berteriak
Mengajak burung gagak memainkan irama cakarnya
Dan membilas polesan make up-nya
Karena telah membuat mimpi-mimpinya
Mengambang seperti buih dimainkan angin.
Oh kasih...
Bagaimana bisa ku hentikan matahari di atas rel kereta api
Bagaimana bisa ku cium tangan-tangan amis bercorak melati
Sementara tanganku membendung air mata anak sungai
Yang takut bermain mata di rumah sendiri.
Aku tulis cerita itu di sebuah warung
Di saat kaki mereka menggantung di bawah kursi panjang
Ditemani manusia-manusia bermata sipit
Indahnya mutiara di dasar laut
Merdunya Kicauan burung-burung
Nikmatnya suguhan susu coklat
Aroma cengkeh dan lezatnya palawija.
Mungkin terlalu banyak daging yang mereka telan
Hingga memuntahkan kotoran berbau syetan.
Di warung itu
Aku menyaksikan skenario drama cinta babi buta
Yang disutradarai seniman asal Belanda
Aku tersentak kaget
Dan hampir semaput
Tapi, hanya satu menit
Selebihnya aku menjadi bulan-bulanan puisi
Yang di teriakkan Taufiq Ismail, Chairil Anwar, dan WS. Rendra.
Kekasihku tersenyum kesakitan
Tersebab luka lama belum jua sembuh
Dan aku tidak akan meninggalkannya sendirian
Jika kekasihku mati
Akulah pengecut pertama yang ditulis dalam buku sejarah.
015. RIUH DALAM SUNYI
Saat ini....
Tuhanku menitip salam kepada angin
Dengan bahasa yang indah dan santun..
Bersemilir meniupkan sesak meraba bumi
Dan menciumi dedaunan yang mendurhakai matahari.
Kini...
Mampuslah kau manusia dilumat sendiri
Hai para pendusta
Hai para penista
Yang telah mengotori masa
Serupa kecowa kecil dalam sepatu
Mingkem terbungkam aneh-aneh dan lucu.
Tersayat ketakutan
Terjebak keterpurukan
tangan-tangan raksasa susut mengerut
Digertak serdadu bisu hingga berlutut
Tutur sapanya yang sepi bergemuruh
Mengembalikan jiwa yang jauh nan rapuh
Dari peluk sunyi yang tertulis pada pelepah kurma
Dan terdiam kembali ke dinding rahimnya.
Seraya memahami setetes air laut
Yang menempel ujung jarum.
016. CORONA DALAM SAJAK TUHAN
Qaff...(ق)
Demi laboratorium dan perpustakaan
Yang mereka jadikan kebun
Para pemikir sibuk dengan penelitiannya
Hingga melupakan arsitek pengembang akal manusia.
Dan sajak-sajak yg ditemukan olehnya
Dari Qaff.. aku temukan Nun
Dalam sajak-sajak yang tidak diketahui kapan penciptaannya.
Qaff itu menggertak-kejutkan beratus negara
Mereka ketakutan yang sangat hebat
Geger bersama jarum jam yang mereka buat
Kebun-kebun mereka hangus seperti terbakar
Ketakutan sekali...
Melebihi belalak mata Munkar
Hanya dengan serdadu-serdadu kecil
Serdadu itu menandai belalai mereka
Menutup ruang gerak dan gerbang kebajikan
Seperti menutup pintu kematian
Nun.... (نۤ)
Demi pengetahuan yang mereka banggakan
Dan ayat-ayat yang mereka dustakan
Bangsa ini seperti bonsai yang terlempar
Oleh tangan-tangan yang menyembunyikan batu.
Nun...
Kau terlalu kecil
Untuk membinasakan kehidupan.
Kau terlalu muda
untuk melumpuhkan geliat manusia raksasa
Yang konon dunia ini hanya selebar daun kelor.
Hari ini..
Qaff dan nun menyebar
Mencari Ro' yang hilang dari dalam tenggorokan manusia.
017. ISOLASI ROMADLAN
Ya romadlan..
Bulan suci, bulan yang dinanti-nanti
Jiwa-jiwa yang ingin berjumpa denganmu
Melebihi rindunya kemarau pada tetes air hujan
Terbias cahaya matahari tercelup di lautan
Dan tabuhan beduk membuka tabir ma'rifat
Pada seruput pertama seteguk syari'at.
Ya Romadlan..
Bulan yang dinanti-nanti.
Hadirmu didamba orang-orang yang berjiwa tenang
Dan engkau datang pada saat bumi seperti sangkar barung
Engaku ajari kami i'tikaf dan isolasi
Serta menjalani karantina
Hanya untuk berlama-lama
denganmu.
018. RINDU MENANGIS LAGI
Sua terindah denganmu
Saat matahari ditelan lautan
Penantian berujung kemesraan
Hilang gugup senyum tersipu.
Kemarin, Engkau tatap tiap suapan
Dari kebahagian yang menetes di meja makan.
Kini, kau meninggalkanku, sayang
Rinduku sudah berdenyut kencang
Bilanganku tak mampu diterawang
Bila nanti tak sempat bersua lagi
Pasti seluruh dagingku seperti terkuliti.
Pantaslah aku menangisimu
Bila bayanganmu tiada semayam di dada
Bila bisikanmu tak lagi terdengar di telinga.
Demi bulan dan matahari
Aku ingin memelukmu lagi
Sebagaimana dulu hatiku kau sucikan
Oleh sentuhan paras penuh ampunan.
Demi taburan bintang-bintang
Ingin ku kecup satu kali seribu bibirmu
Hingga terbius oleh kasih sayang
Dan jatuh dipangkuanMu
019. PANORAMA INDAH BERBUAH LEBAT
Kini tinggal aku yang tersisa....
Dari kebaikan orang-orang yang tertinggal
Daun-daun muda begguguran sebelum waktunya
Mencoba bertahan sebelum menyesal
Titah di anggap berkarat dan tak berkilau
Tak mampu menusuk waktu menembus kalbu
Aku mau menyempu dan merayu
Memainkan lagu bukan menopang dagu
Semediku menunggu telur sampai meretas
Melukiskan sketsa mimpi di atas kanvas
Sebagian catatan hampir saja tuntas
Musnah karena secarik kertas
Biarkan, Tuan-tuan disana berbicara bebas
hancurkan prasasti memuja formalitas
Berteriak kencang dengan suara awas
Menghantam gemuruh tanya yang melintas
Asal puas tebas kualitas
Menjadi kebanggaan bukanlah mudah
Setiap sisi tercecer titik-titik jenuh
Mengawali setiap langkah dengan basmalah
Jalani dengan ramah penuh gairah
Meng-asingkan keluh kesah merangkul petuah
Panorama indah berlalu tak terjamah
Ketentuan arah menuai masalah berujung pasrah
Malah seperti hujan jadi bencana atau berkah
Ali-alih berbasis masalah tahu-tahu berbuat ulah
Tunggu lima belas tahun kedepan
Buahnya lebat dan menakjubkan
Pahit manisnya pasti dirasakan
generasi muda kelinci percobaan
Menjadi warga negara yang utuh
atau berketuhanan yang Patuh..?
020. SUMPAH AMUKTI PALAPA SUMPAH PEMUDA
Darah bercampur nanah
Ketika derap kaki penjajah
Mendahului matahari terbit
Melangkahi nisan-nisan berwajah pucat.
Sumpahmu menggetarkan jagad raya
Kristal semangat membaja dalam dada
Merubah awan hitam menjadi sutera
menjemput kemerdekaan dengan jiwa raga.
Sumpahmu kokoh menjadi jembatan
Satukan tekad pantang menyerah
Dengan sebatang tongkat di tangan
Dan sesobek kain di kepala
Merah putih berkibar gagah
Menerobos barisan kejahatan manusia
Seru menyatu melawan sekutu pengkhianat
Ikrar ksatria melawan penjajahan
Tidak kuatir dengan apa itu meriam apa itu geranat
Sebab kematiannya adalah kehormatan
Sebutir debu di ujung peluru
Direbutnya kembali dengan gagah berani
Itu harga diri
Harga mati
Dari pada menjadi babi di kandang harimau
Oo...
Sumpahmu tidak main-main
Ikrarmu bukan main-main
Tekadmu bukan main-main
Perjuanganmu bukan main-main
Indonesia merdeka karena sumpah
Indonesia menjadi negara besar karena sumpah
Indonesia menjadi makmur karena sumpah
Dan suatu saat akan hancur karena sumpah
Patih Gajah Mada bersumpah
Pemuda Indonesia bersumpah
Semua pahlawan bersumpah
Kecuali...
Mereka yang tak pernah berperang mengaku pejuang
Tak pernah berjuang mengaku pehlawan
Tak pernah bersumpah justru minta disumpah.
Sumpah itu membuat pejuang marah
Ketika kesaksian atas nama tuhan
Atas nama kemerdekaan bangsa
Ditaklukkan sebagai tumbal kesejahteraan
021. HARGA DARAH PEJUANG
Zaini Dawa
Indonenesiaku
Merdeka oleh darah pejuang
Darah yang tercecer dari ibu kota sampai hutan pedalaman
Darah yang tidak dihargai oleh siapapun
Bahkan mayat-mayat mereka tak sempat berkafan
Menjadi santapan binatang-binatang kelaparan
Menyisakan semangat juang yang diwariskan
Kepada saudara-saudara seperjuangan
Sekali berteriak "merdeka"
Peluru menembus tengkorak
Sekali berteriak "majuuu"
Meriam mendadak meledak
Komando kumandang takbir
"Allahu Akbar, Allahu Akbar"
Membara diujung bambu runcing
Teriakan "hidup atau mati"
Lelehkan ganasnya timah amunisi
Indonenesiaku
Merdeka oleh darah pejuang
Bukan ludah pecundang
Mereka yang kau sebut pahlawan
Tak sedetik pun menikmati kemerdekaan
Hanya bisa tersenyum di mata uang
Yang kau jarah atas nama tugas
Dan pengabdian hasil merampas
Indonenesiaku
Dibangun oleh darah pejuang
Bukan ludah pecundang
Aku saja muak dengan gayamu
Caramu mengayuh negeri ini
Ini negeri pak. Bukan puzzle
Mestinya kita malu menjadi lintah
Di negeri yang dibangun dengan darah
Ratapan istri dan anak-anak di rumah.
Indonenesiaku
Merdeka oleh darah pejuang
Bukan ludah pecundang
Mereka yang kau sebut pahlawan
Membaring kecewa dalam petilasan
Kuharap hari ini perang kembali terjadi
Melawan kompeni yang dulu mereka hadapi
Biar engkau tahu rasa pedih-sadisnya perang
Lalu kita bangun kembali negeri ini
Dari awal kemerdekaan lagi
Sumenep, 09 Agustus 2019
22. SAJAK PEMBERONTAKAN
1- Genderang Perang
Jerit tanah yang menganga
Melontarkan aroma kembang menebar keminyan
Amis bau nanah sepanjang nusantara
Bagai menabur geliat debu panas di tengah gurun.
Pekik batu yang melapuk
Remuk ditikam belalak
Segenggam abu terbakar
mengerang di wajah-wajah leluhur
Menghembuskan nafas geram
Diantara rumput hijau bekas tersiram darah.
Teriak air beriak menggertak guntur di langit
Mengundang turunnya hujan dan cambuk halilintar
Gelegar-menggelegar di ubun-ubun mimpi..
Tabuhkan genderang perang di ceruk jantung
Untuk mebayar hutang darah yang tumpah tak berharga.
Raut muka yang kusam
Tak sanggup lagi menahan dera
Ia acungkan telunjuknya ke langit
Dan menyelupkannya ke dasar laut
Lalu mengasahnya pada taring Gajah Mada
Kepada tanduk Hayam wuruk
Kepada cakar Ayam Jantan dari timur
Hingga lahir Sumpah Pemuda.
Tanah airku...
Larut dalam ronta kepalan tangan dan barisan prajurit
Ini tulangku sendiri...
Ini darahku sendiri...
Terbungkus dagingku sendiri...
Semuanya untukmu merah putihku.
2- Sekali Merdeka Tetap Merdeka
Ludah yang terbuang pantang kembali pulang
Sekali meradang tetap menerjang
Sekali merdeka tetap merdeka
Tak peduli patah tulang ataupun tubuh berlubang
Bahkan ancaman kematian tak ku hiraukan.
Merdekaaa...
Sungai-sungai dan jembatan memerah
Gunung, hutan, dan lautan terlihat gundah
Di jalan dan alun-alun mayat-mayat berserakan
Jantung itu sepi.. menjadi kota mati.
Baju pertempuran terseok diterpa kemalangan
Berlumpur darah menumpuk riuh di raut kekasih.
Air mata yang tersisa meneteskan sumpah
Lebih baik mati berkalang tanah
Dari pada hidup menjadi sampah.
Bumi rata dengan kebisingan tembang kelana
Syair-syair pewayangan berirama sabda
Mengalir dari keriput seorang kakek tua
Seruan rokh-rokh leluhur berbunga.
Hari ini..
Sajak-sajakku bergerak mencarimu
Untuk menyatukan mimpi-mimpimu yang masih mengambang.
Di sini...
Aku temukan Ajeng Kartini tersenyum pucat
Dan Ki Hajar Dewantara enggan menatap wajahku.
Entahlah...
Apa gerangan pikirkan..?
Di sudut yang lain
Aku temukan Pangeran Arya Wiraraja tertunduk lesu
Dan Jenderal Soedirman masih bertahan dalam tandu
Entahlah...
Apa gerangan pikirkan..?
Aku malu dan terpukul
Sepuluh jemariku menghujani wajah
Setelah aku tahu mereka kecewa
Ketika kemerdekaan ini dikira kebetulan saja.
3- Perjalanan Bangsa
Oh sayang..
Tatap mataku..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang perih melihat kekejaman perang
Terbayang bagaimana sakitnya terpisah dengan orang tersayang
Bagaimana rasanya berselimut ranjau berguling granat
diseret seperti binatang
Pedihnya daging dikuliti
Perihnya delapan puluh ribu anak-anak kelaparan
Dirantai
Dicambuk
Disilet
Dilindas
Dicabik-cabik
Rasanya mati perlahan-lahan
Rasanya merobek nadi
Rasanya jari terputus
Rasanya disiram air keras.
Tatap mataku kawan..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang berbinar-binar melihat kekayaan negeri
Tiba-tiba menghilang dalam kantong gratifikasi
Pohon jati, pohon ulin, dan isi perut bumi
Lenyap hanya dalam satu sasi
Tatap mataku pakk..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang lelah oleh kantuk semalam menghitung bintang-bintang
Tak satu-pun bersinar dengan cahaya terang
Terlena janji hujan kepada rerumputan
Seperti yang dijanjikan saat bergantung di pohon dan di pinggir jalan.
Tatap mataku pakk..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang bosan melihat perjalanan bangsa yang baru melangkah
Kemunculan manusia doraemon dari balik beton
Menimbulkan jerit keluh terlontar di belakang plat merah
Pergeseran nilai-nilai kepahlawanan ambyar edan.
Tatap mataku..!!
Tataplahhhh ....!!
Mata yang lepek oleh hukum yang tumpang ketimpangan
Keputusan seperti mata linggis yang jatuh dari langit
Tak mungkin ditangkap oleh tangan-tangan berkarat.
Mataku semakin penat
Menyaksikan penjara tanpa jerat
Hukuman seperti sambal bakso
Tanpa jera tetap berleha-leha
Setahun menderita seabad sejahtera.
Tanah air ini terus menerus tergerus
Rumah kecilku menyimpan tikus-tukus besar
Bangsa ini dipreteli semaunya saja
Dengan memelihara kucing anggora.
4- Sajak Pemberontakan
Aku adalah setetes sajak..
Sajak yang beriak dari peluh nenek moyang
Sajak yang tak mau diam dalam kemunafikan.
Karena sajakku adalah pemberontakan
Melawan bromocorah-bromocorah adipati
Melawan denawa-denawa senopati
Penyamun kekuasaan
Begal kemerdekaan dan keamanan.
Adigang... Adigung... Adiguna...
Aku tak bisa membayangkan
Bagaimana jadinya negeri ini bila dikuasi bromocorah dan denawa
Keamanan dan kemakmuran tertutup laporan
Kesejahteraan dan keadilan hanya di layar kaca.
Gelap mataku
Buta matamu
Gatal mata kelilipan mata uang
Main cara main mata
Pasang mata dimana-mana.
Dalam pertempuran ini kau boleh teriaki aku kalah
Kau boleh tudingkan telunjukkmu ke mataku
Tapi, ada sesuatu yang perlu kamu ingat
Aku adalah sarang jiwa manusia-manusia lemah...
Darinya menetaskan ribuan sajak...
Menyelami kedalaman pikiranmu
Yang memuntahkan bilur-bilur kebosanan.
Ooohhh...
Kemana mereka yang mengaku pahlawan?
Yang katanya siap mengabdi mengisi kemerdekaan?
Dimanakah santun sapamu kepada bangsa?
Kecuali..
Santunan siapa lagi yang belum tiba
Gonjang-ganjing peraturan kolot
Dibawa saku rekening gendut
Serta kebijakan atas paduan suara kolega
Sanak famili... dan keluarga...
Kemana mereka yang mengaku patriot
Yang katanya berdaulat kepada rakyat?
Dimanakah mereka bersembunyi
Di saat jati diri bangsa terombang ambing keraguan
Antara menjadi warga negara yang utuh
atau berketuhanan yang patuh..?
Oh, Kemanakah mereka yang bangga dengan kidung ibu pertiwi?
Yang katanya lebih elok dari pada suara adzanku?
Dimanakah gemulai gerak tarian iramanya?
Yang katanya semurni puja kepadanya.?
Di saat bangsa ini menjadi boneka hello kitty
Mereka hanya mengangguk-ngangguk
Geleng-geleng kepala
Menganga serupa catut di atas meja.
Dimanakah kalian semua
Keluarlah...
Sapalah pahlawan-pahlawan bangsa
Yang enggan menjawab salamku.
023. PENJAJAHAN BELUM BERAKHIR
Cantiknya ibu pertiwi mengemas berlian
Tumpah mewah pesona keagungan
Bertabur puja di kening dan dada
Serta tersembunyi di dalam perutnya
Mata dunia tersihir
Banyak penjajah datang menjarah
Disekap bergilir berabad lamanya
Ibu pertiwi menjerit menahan sakit
Sakitnya hentakan kaki prajurit
Derap yang menggetarkankan seisi dadanya
Ibu pertiwi lalu berbisik
"Kita dijajah nak...
Ditindas...
Hak kita dirampas.
Melawanlah..!!
Karena diammu adalah kesengsaraanmu dan penderitaan anak cucumu.
Yakinlah pasti menang
Merdekaaa..."
Bisikan itu
Nyalakan kobaran semangat
Para pahlawan bangsa
Tak ada gentar melawan perbudakan
Tak pernah menyerah sekaipun peluru menyumbat aliran darah.
Oohh.. katakan padaku
adakah yang lebih menyeramkan dari pada menyusuri hutan
Membelah sungai di tengah malam
Jurang terjal berbau anyir
Kaki bertelanjang mengejar inti kegelapan
Tapi, itu terbayang seperti bermain di taman.
Merdeka atau mati..!!
Kata itu meletupkan jutaan peluru kemarahan
Merdekaa..!
Atas nama cinta
Mereka menahan rantai kematian
Sawah dan ladang...
hutan dan gunung
Tumbuh kekuasaan manusia biadab
Ibu bapaknya telah lama gugur sebelum berbunga
Karena Menampik dera cambuk rumosa.
Demi cita-cita kemerdekaan
Meraka menahan sakit
Sakit yang tak tersentuh obat
Luka yang yang tak menyentuh rasa
Karena rasa itu tak lebih menyakitkan dari pada penghambaan
Merdeka atau mati..!!
Kata itu memacu derap kuda dan binatang jalang
Tangan mengepal langit dijungjung
Bumi direntak kabut pekat dibabat
menakjubkan sekali...
Dalam darah mengalir nyanyian kemenangan
Paduan kekuatan dan keringat yang mungkin terlupakan.
Kini sudah sampai pada waktunya
Masa depan yang tak terlalu jauh.
Dari luka masa lalu hingga hari ini...
bukan lagi tentang daging yang menganga
Bukan lagi tengtang darah yang tumpah
Sepuluh pemuda yang kala itu diharapkan
Sepuluh copet yang datang berbatik kebesaran
Menua kelilipan cahaya kekuasaan.
Wahai Bung Karnoe...
Bangkitlahhhh...!
Lihatlah bangsamu...!
Penjajah yang dulu engkau lawan
Kini berganti wajah menyerupai kawan
Musuhmu adalah antek-antek asing
Musuhku adalah bangsa sendiri.
Perjuanganmu belum usai bung...!
Engkau menentang penjajahan
Aku menentang ketidak-adilan
Kebenaran diasingkan tersiram air keras
Kejujuran disingkirkan secara misterius
Kejahatan berkoalisi dalam birokrasi.
Ini ironis bung...!!
Engkau minta sepuluh pemuda
Aku minta sepuluh orang tua
Untuk meng-orang-tuakan mereka yang duduk disana
Akan aku angkat martabat bangsa
Yang terlihat seperti panggung sandiwara
Disoraki kaum buruh, petani, dan pedagang kaki lima
Setelah itu semua terdiam tidak ada apa-apa
Kecuali menunggu kisah berikutnya
Ini dramatis bung...!!
Ohh Bung Tomo...
Bangkitlahh...
Lihat sejenak
Kemerdekaan yang engkau mimpikan
Hari ini benar-benar nyata kita rasakan
Merdeka menjadi apa saja
Merdeka mau ber-apa saja
Kebebasan menampuk kuasa
Kebabasan menumpuk suka.
Tanah pertumpahan darah yang dulu kau teriaki
Kini terbangun gedung-gedung konspirasi
Allaaaahu akbarrr...
Teriakanmu telah membakar semangat juang bangsa
Sampai saat ini...
Masih sering aku dengar
Di gorong-gorong massa dalam penokohan
Di celah-celah bebatuan dalam bidikan.
Wahai jenderal soedirman...
Bangunlah...!
Angkat senjatamu jenderal..!!
Bangsa ini sudah kehilangan taring
Merahmu seperti tentara kehilangan benteng
Putihmu seperti kembala hilang kekang
Indonesiaku terlahir sebagai republik
Berkibar bersama terpaan polemik
Dari sabang sampai merauke
Disantuni hutang hukum
Hutang mata
Dan
Hutang janji-janji
Jenderal...
Berilah aku sepuluh pelor..!
Akan aku habisi tupai-tupai ladang
Dan tikus-tikus liar di lumbung
Aku ingin bangsa ini bersih dari sapu kotor
Bangsa ini titisan air mata dan darah kental
Bukan warisan pemilik modal dan kaum feodal
Mereka pelempar peraturan basa-basi
Serta perdagangan dengan peraturan revolusi.
Wahai pahlawan-pahlawan bangsa...
Bangkitlah..!
Sehari saja
Periksalah kembali gulungan ombak..!!
Sampaikah ia ke bibir pantai.
Periksalah gunung-gunung dan hutan..!!
Masihkah ia menyimpan kekayaan.
Periksalah mata air di negeri ini...!!
Masihkan ia menjadi mata kehidupan.
Periksa juga sungai-sungai dan lautan
Masihkah ia mengalirkan kemakmuran.
Aku ingin negeriku menjadi surga dunia
Dimana burung garuda gagah mengepakkan sayapnya
Burung cenderawasih mesra memainkan bulu-bulunya
Menyambut pelaut pulang dengan senyuman
Dan petani bahagia dengan hasil buminya.
024. REAKSI BOM HIROSHIMA NAGASAKI
Ketika Hiroshima Nagasaki berguncang
Sontak teriak bangsa
Serentak di seluruh tanah air Indonesia
Samudera ikut bergetar menggulung ombak
Langit turut terbelah membuka cakrawala indah
Gunung-gunung turut melontarkan salam kemerdekaan
Indonesiaku satu...
Satu nafas...
Satu rasa...
Satu kata....
Satu cita-cita untuk satu Indonesia
Merdeka...
Merdekaaa...
Mereka terusir dari tanah pertiwi
Hengkang menelan kekalahan
Pulang bertelanjang badan
Dilucuti segala ototnya dari urat nadi.
Lunglai... jadi jasad tanpa rokh
Linglung... membawa beban tubuh sendiri
Tak bedaya menapaki jalan-jalan bumi ini.
Tiang merah putih terpancang di seluruh nusantara
Tegak seperti bulu kuduk menancap di sekujur tubuh
Semesta bertakbir..
Semesta menangis...
Semesta merinding...
Indonesiaku
Bangkitlahhh...
Engkau yang gagah tak boleh mengerang kesakitan
Engkau yang perkasa tak boleh hilang wibawa.
Oohhh... Rupanya..
Dahsyatnya ledakan bom atom di sana
Juga terasa sampai di sini
Sekarang...
Di dadaku...
Ketika ku temukan sisa-sisa penjajah baru yang tak kasat mata
Mengguncang perahu bangsa
Beramai-ramai gelar layar berkembang
Berebut kemudi saling baku hantam
Di tengah samudera membentang
Retak seribu hilang arah
Oh, kemana bangsa ini akan berlabuh..?
Ke pulau kapuk atau ke pulau sayur??
Tergantung...
Siapa yang sesungguhnya merdekaa..
Puisi perpisahan untuk siswa kelas akhir
025. TAK KAN LUNAS TERBAYAR
Dulu, balonku ada lima
Kini, berganti cinta gila
Dulu, aku belajar berhitung
Kini, pandai mencari untung
Dulu, aku belajar membaca dan menulis
Kini, lihai berkata romantis
Guru...
Engkaulah sang pahlawan
Pantang menyerah gigih melawan
Tak merengek karena peliknya kehidupan
Tak rapuh dihantam kerasnya persaingan
Tak lapuk dimakan aib jabatan
Tangan dingin dan kehangatan pribadi
Suburkan setitik benih yang belum berarti
Mengangkat martabat setinggi mentari
Menghiasinya dengan pesona pelangi
Namun, Apa yang dapat kubayarkan
Tak lunas seperti yang kau pinjamkan
Banyak waktu tak terbagi
Sibuk menata hari lupa bersolek diri
Seperti badut tua bernyanyi dan menari
Menyambangi setiap jiwa dengan sepotong roti
Menceritakan bunga mekar dan mewangi
sembari tersenyum melihat muka berseri-seri
menaruh hasrat di pangkuan ibu pertiwi
Membangun altar dengan potongan-potongangrafit murni
Ketulusanmu ter-uji
Kemampuanmu ter- puji
Walau sejemput emosi datang silih berganti
Rasa ingin tahuku kau rangkul kau hargai
Dijunjung tinggi seperti anak sendiri
Dibelai manja dengan sentuhan hati nurani.
026. DALAM TEMPURUNG
Teman-temanku...
Semua pelajaran telah selesai
Ujian nasional pun juga usai
Semuanya telah berlalu
Namun nafasku terus melaju
Takkan berhenti membangun mimpi
Biarpun terhalang lautan api
Selama ini kita bak dalam tempurung
Kini saatnya luruskan punggung busungkan lambung
Terbang tinggi seperti burung-burung
Hinggapi ranting-ranting segar berbunga lembayung
Kini ... Tengadahlah...
Lihat langit dengan butiran bintang-bintang
Berpijar berkedipan menari berdendang
Jauh terpandang namun terlihat terang
Mutiara perpisahan sudah terpasang
Terlukis nyata diatas pintu gerbang
Aku rela terbuang
Untuk menjadi bintang
kami tahu indahnya kebersamaan
kami paham manisnya pertemuan
kami mengerti pahitnya perpisahan.
Yang belum dapat kami rasakan
Bagaimana mengayunkan langkah
Bila terasa lumpuh
bagaimana membuang sedih
bila ter-enyuh kenangan masa bodoh.
027. DO'A DAN HARAPAN
Ingin selalu kucium jemari tanganmu
Seperti kucium jemari tangan ibuku
Aku ingin selalu ada di hatimu
Dicintai dan mencintaimu.
Walau gerbang perpisahan baru terbuka
Namun, bunih- benih kerinduan sudah terasa
Bagaimana kelak aku menjalaninya
Sementara kasih sayangmu tidak bisa aku bawa.
Sahabat-sahabatku...
Sebagai penghormatan kepada mereka
Angkat tanganmu tundukkan kepala
Busungkan dada
Heningkan pikran selipkan do'a
Ya Allahhhh....
Ampuni dosa-dosa guru kami
Dan dosa-dosa kedua orang tua kami
Bukan tangan tangan mereka yang kotor
Tapi, tubuh kita yang berdebu dan berlumpur
Bukan karena tega. Tapi, tak kuasa
Menyaksikan piaraannya terlindas kereta
Setiap pagi berteriak-teriak seperti orang gila
Menghitung waktu dengan segenggam asa.
Lalu bayangkan...!
Pantaskah kau pergi begitu saja
Tinggalkan rona senyum mereka
Bersama tumpukan dosa-dosa kita
Tanpa maaf sebagai penyesalan
Tanpa ridlo sebagai harapan.
Ya Allahhh....
Ampuni kesalahan-kesalahan kami
Sungguh besar dosa yang kami miliki
Tak sanggup kami pergi
Membawa dosa yang bertubi-tubi
Terlilit rasanya langkah kaki
Bila tidak engkau ampuni
Tegur kami..!
Bahkan hukum kami...!
Bila dosa ini kembali terulangi.
Dengan kerendahan hati
Kugadaikan rokh kami
Sebagai jaminan taubat kami
Sdlamat berpisah
Salam satu do'a
Gapai cita-cita.
028. DERMAGA PERPISAHAN
Kasat kusut catatan bercoret
Menjadi prasasti sejarah kehidupan
Dari masa cengeng ke masa seru
Terus bergulir menelusuri waktu
Terkadang aku menangis ketika aku disuruh
Terkadang aku berlari ketika aku salah
Terkadang aku sedih kamu marah
Dan terkadang aku tertawa ketika aku lupa
Pedihnya penyesalan belum aku rasa
Salah dan dosa belum tereja
Tapi bila sampai waktunya
Hati ini akan menjerit meraba dada
Sambil menatap potretmu
Sambil mengenang seagala jasa
yang belum pernah terbayar
Ku merintih dalam doa
Astagfirllah robbal baroya.....
Malam ini aku tak tahu apa apa
Kanan kiriku penuh dengan tanya
Munkin saja berwibawa penuh damba
Atau hina dina tak berharga dan tak berguna
Ibu jari ataukah kelingking yang akan kau acungkan
Tapi...........
Telunjukmu adalah kompas dihatiku
kawan....
Masih ingatkah kau, dulu...
ketika kita masih kecil mungil
Mereka tampil seperti anak kecil
Masih ingatkah kau, dulu...
Ketika kita nakal
Mereka tabah dan tak kehabisan akal
Masih ingatkah kau, dulu...
Ketika kita lamban
Mereka tetap menaruh harapan
Tapi, kini lihatlah...
Kami berdiri tegak menjadi pelangi
Menyambut mata pelita siang hari
Menggantung dilangit bagai rembulan
Membiaskan cahaya di setiap rongga kegelapan
nanti....
Bila semua ini aku kenang
Dari setiap sudut otak terpencil
Akan bermunculan kata haru nan pilu
Dan menhimpit keajaiban dimasa itu
Malam ini isak tangis bercucuran air mata
Bila teringat peristiwa tumpah tinta
dan meresapi kembali fatwa-fatwa cinta
Bertahun-tahun acuh hampa tampa makna
Pedih perih bersimpul sesal kini terasa
disini...
Di ujung dermaga perpisahan
Setelah lepas mata memandang samudera harapan
guru...
Capek, lelah, letihmu itu biar aku bayar
Dengan kilauan mutiara air tawar
Dengan seribu pesona terencana pasti
Ini janji terus hinggapi mimpi-mimpi
Maafkan aku.....
Maafkan kami semua.....
029. PESAN PERPISAHAN
Aku bukanlah batu bata
Tak harus di ukur sama
Atau di pasang rata
Aku anak manusia
Punya bisa...
Punya beda...
Kau tak perlu kecewa...
Sebab usahamu tak sia-sia
Kau rela jadi jembatan kayu
Tujuh belas tahun menderita
Oleh panas matahari dan hujan
Kau dipuja tak terbang
Kau di caci tak tumbang
Kau di benci tetap sayang
Di matamu aku semata wayang
Di pagi hari....
Ketika aku datang kau telah siaga
Di siang hari...
Ketika aku pergi kau ucap dada
Di sore hari...
kau pinjami aku tasbih penghitung waktu
Sebab roda zaman bebas menggilas
Siapa saja yang lengah pasti terlindas
Di malam hari...
Aku kira kau lupa...
Eh, ternyata
kau kirimkan senandung do’a merobek langit
Kau aktifkan sinyal kuat menembus jagat
Kau kirimkan pesan suara dalam kemasan do’a
Di belahan sepertiga malam aku terjaga
Kemudian menciptakan rakitan tenaga
Tenaga baru untuk merobek derah kopompong
Melatihku... agar kuat...
Tahan, dan tak rapuh
Terima kasih guru.....
Aku ibarat ulat dalam kepompong
Aku sesak...
Aku gelap...
Aku pengap...
Aku berjajnji...
Aku akan membuatmu tersenyum
Dengan kepakan sayap pertamaku.
Tanpa meremehkan matahari
Ku akan mengajakmu terbang mengelilingi taman
Walau di tertawakan sinis burung–burung di angkasa
Belum jauh ku rasa melangkah
Bahagia mulai menjerat mega merah
Padahal...
masih banyak tanya yang belum terungkap
masih banyak mimpi indah yang tersekap
Aku sadar...
Mungkin perpisahan ini sebuah isyarat
Bahwa aku tidak akan tumbuh dewasa bila selalu kau dekap
Bahkan tumbuh kerdil dalam belaian manja
Saat ini, tak ada lagi kata berkias
Seindah lukisan pengabdian cinta
Yang tak dapat di takar dengan gundukan emas
berpasang mata melotot mulut menganga
Latah diam tiada kata menjelma
Untuk menterjemah kata yang ranggas
sekali lagi.......
kebahagianku robek dalam mendung
bila tak kau lepas aku dengan senyummu.
tetaplah tersenyum walau dalam paksaan
maafkan aku...
bila aku luput mecatat sebagai kenangan...
atau kemenagan...
ya Allah ya tuhanku....
ikat kami dengan lilitan rindu
agar kami mengingatnya selalu
walau berbatas jarak dan waktu
Sampai mati-pun... kami perlu.
030. MENGENANG JASA GURU
Guru….
Di rumah kau tingglkan anak-anakmu
Melangkah menelusuri pagi
Terasa embun jadi permata
Terasa debu yang menempel di kaki
Akan jadi pernik-pernik bidadari
Terik matahari tak kau hiraukan
Hujan… badai… kau abaikan.
Demi seteguk air mata air di tanganmu
Tapi…
Bila... kita disni,
Pantaskah aku tegak berdiri terpukul matahari
Guru….
Di pundakmu terpikul bongkahan tanggung jawab.
Terbawa langkah kecil terengap-engap.
Keringat bercucuran basahi kerah bajumu
Teringat ranting sudah bertangkai
Disini kau dapati suguhan kepayahan dan ronta kenakalanku
Yang bagi orang lain tentu meremas-remas dasi
Tapi…
Kemarahanmu terbungkus diam tertutup senyum
Lalu aku sadar…
ternyata senyummu itu leburkan kepala-kepala batu
Guru…
Aku adalah ranting yang sudah bertangkai
Aku tumbuh di bawah tapak-tapak kakimu
Aku kuncup di antara telapak tanganmu
Maka….
Izinkan mala ini aku kalungkan bunga ini padamu
Hati ini menjerit, jika semerbak itu tak kau cium
Hati ini bersalah jika bunga tak layu di pundakmu
Guru…
Aku tahu, aku tak kan pernah mampu balas budi
Ucapan terimaksihpun tidaklah cukup menghapus debu-debu kapur yang mengotori
Malam ini aku tak kuasa melihatmu
Duduk… berdiri… dihadapanku
Lantaran jiwaku tertimbun gundukan salju
Yang tercipta dari setitik noda dalam kalbu
Aku menyesaaal guru…
Aku sediiiiih sekali guru…..
Kalau akhirnya kita harus berpisah disini
Pergi membawa keeping-keping kerinduandan sebongkah harapan
Malam ini bumi darissalam di guyur air mata,
di terpa angin membiaskan sayonara
hati ini gemetar menggelora karena asa di penjara rasa
hanya maafmu guru yang bisa membendung deraian air mata ini.
Terima kasih guru…
atas serpihan kasih sayangmu
Sematkan aku dalam do’amu
Agar ranting ini terus bertangkai…
Kuncup… dan berbunga….
031. KIDUNG PERPISAHAN
Sejenak langkah kaki terhenti sampai disini
Menyapa wajah-wajah layu di persimpangan
Seraut senyum tertunduk menyendiri
Selayu bunga-bunga lepas dari jambangan.
Riuh gemuruh canda tawa
Riang gembira terbungkus kebersamaan
Tanpa terasa kehadiannya menepi di dermaga
Selangkah lagi kenangan merajut penyesalan.
Malam ini kidung ranting cemara
Merengek sedih dalam kepiluan
Seperih rasaku menahan matahari di ujung senja
Pelan-awan kelabu melambaikan kesunyian.
Dalam kebisuan dan keheningan malam
Terputar kembali titian derama silam
Semua terekam hingga hingga corengan hitam
Menjadi nostalgia berlumpur kelam.
Kawan...
Lihatlah dingding kelasmu
Penuh dengan coretan keangkuhan
Yang engkau nilai sebagai kebanggaan
Lusuh berkerak mewakili pikiranmu.
Kawan...
Lihatlah bangkumu
Tempat kau menulis, menghitung, menggambar
Reot dimana-mana menguji sabar
Mewakili tingkahmu yang imut-imut nan lucu.
Kawan...
Lihat pintu dan jendela itu
Mereka sedih tertunduk lesu
Pecahan kaca bertebaran pilu
Menjadi beling tajam di hati guru.
Bila aku menoleh kebelakang
Nyinyir kerut kerling tak bergeming
Nestapa dalam dada tersayat bayang-bayang
Masa lalu berlalu sia-sia terbuang
Tangtangan masa depan keras membentang.
Kucoba tenang dalam galau
Menepis cemas segurat risau
Demi bakti wujudkan ikrar
Suatu saat nanti bintang-bintang ini akan berpijar
Dari dalam dada kami akan terpancar
Hakikat senyum pun tulus terang bersinar
Hanya untukmu guruku terhatur.
Bagai matahari dan bumi
Puisiku kian merintih lantaran cerita kami
Sajakku ingin tahan semburan dosa masa lalu
Mengemis sebait do'a dan ketulusan restu
Pun gelora cinta dalam rima pengampunanmu.
Guru...
Maafkan kami
Maafkan kami semua
Bila lancang kami menorehkan luka
Waktu itu kami tak mengerti sakit
Yang kutahu hanya bermain asik.
Guru...
Ampuni dosa-dosa kami.
Bila rayuku tak mampu memgobati luka robekmu
Karena kepolosan dan kebodohanku
Biarlah kubawa cucuran butir bening ini
Sebagai perjalanan meraih mimpi
Guru..
Waktu telah mengantarkan sunyi
Sampai hati tergores nyeri
Karena perpisahan hati terasa perih
Teriksa..
Terlunta..
Jiwa-jiwa ini merintih.
Guruku pahlawanku
Kami harus pergi.
Puisi cinta untuk ibu
032. KASIH IBU
Engkau wanita tercantik di dunia
Kemewahan permata memudar di pipimu
Luasnya samudera
Tingginya langit
Beratnya bumi
Hanyalah sesuap nasi di ujung jemarimu.
Engkau mencintaiku
Jauh sebelum aku berharga
Sampai tujuh bidadari menyunting bunga-bunga
Engkau tetap tersenyum dengan rona kenakalanku.
Di dalam lesung pipimu
Kutemukan senyum dan air mata.
Samudera kasih yang terbaca
Lewat garis-garis di keningmu
Ibuku pahlawanku
Ibuku bidadariku
Aku tak mungkin memindahkan surga di bawah telapak kakimu
Dengan apapun
Apapun
Apapun itu
Jantungku berdenyut dalam detak do'a-do'amu, ibu
Nyawamu kau jadikan saluran nafasku
Menyatu dalam butiran-butiran darah
Setelah itu engkau tiada
Dan aku menjadi bocah yg terbuang dari sayap malaikat.
033. NAWALA CINTA SEORANG ANAK KEPADA IBU
Zaini Dawa
IBU
kau belum mati
Kau benar-benar berumur panjang
Namamu masih mengharumi bunga-bunga
Mawar, melati, matahari, kamboja, dan seroja
Semangatmu masih berkobar dalam dada
Melebihi kobaran semangat pejuang bangsa
Air susumu masih mengalir deras dlm mulutku
Yang kering serta haus kasih sayangmu
Dadamu masih kokoh seperti tugu
Untuk kujalani pertapaanku
Senyummu masih menghiasi perjalananku
Sebagai azimat dan mantra keselamatan anakmu
IBU
satu kata darimu
Seperti seribu bahasa punya guru
Mencintaimu adalah pengabdian diri
Dicintaimu adalah prestasi tinggi
Menjagamu adalah bakti suci.
Mendo'akanmu adalah pengabdianl
Menciummu adalah kerinduan
Memelukmu adalah harapan
Kelak di sorga kita bergandeng tangan
Sambil kuceritakan
Semangat dan cinta yang engkau tinggalkan
I love you ibu
Sumenep, 22 Desember 2017
Puisi Romantis
034. AKU MENCINTAIMU MELEBIHI BATAS
Malam ini...
Aku ingin mesra bersamamu
Dalam hening dan jiwa yang tenang
Dalam ruang yang kini mulai sepi ditinggalkan.
Disini...
Kita cukup berdua
Menindik ketakutan yang bersembunyi di balik baju
Dan kepatuhan yang tak patut tersimpan dalam buku
Aku mencintaimu melebihi batas kemampuanku
Jika malam ini...
Virus itu ada diantara buah dadamu
Biarkan aku menidurimu hingga subuh
Dan jiwa kepenyairanku tenggelam
Menggila ke dalam lekuk tubuhmu yang indah.
Engkau tetap abadi di dalam hati
Dan gemuruh itu mati
Oleh rindu dan panasnya percintaanku.
Disini, kita sedang berjudi
Mati malam ini seharum kasturi
Atau...
Hidup menyaksikan satu orang cuci tangan
Diantara jutaan batin mati kelaparan.
035. ANEGERAH TERINDAH
Hari-hari berlalu dengan kebisuan
Malam-malam pun terjebak kegelisahan
Gemericik sabda jiwa
Merongrong do'a
Menyusun serat-serat cinta
Pada dedaunan yang dimainkan rintik rindu
Semakin tulus kubenamkan rasa.
Hasrat menari di atas mahkota bunga
Rasanya tenggelam ke dalam serbuk sari bermadu
Burung-burung berkicau merdu nan syahdu
Iringi kegilaanku yang hanyut bah tirta nirwana.
Alunan kasih mengalir menjadi dzikir
Mengurai penat penuhi ruang langit
Ditemani melodi cinta temui bintang-bintang
Karena esok akan kembali dengan cahaya yang ditempa pada rembulan.
Percayalahh...
Telah kulabuhkan ikrar pada sekuntum bunga
Untuk sekeping puzzle yang diambil dari patahan rusuk
Sebab jantungku tak mungkin berdetak
Hanya dengan satu rasa
Begitu pula dingding hatiku
Takkan pernah indah tanpa lukisan cintamu.
Sejuk mata rembulan
Teduh di pelupuk mata
Engkau tak perlu gelisah
Sebab engkau adalah anugerah terindah
Adaku karena cintamu
Adamu adalah rinduku.
036. CINTA SEJATIKU
Sayang..!!
Hari ini aku benar-benar bahagia
Menyambut matahari terbit merona di wajahmu
Saat-saat dedaunan melambaikan salam
Turut melepaskan bahagia.
Bunga-bunga menebarkan harum semerbaknya
Ketika pertunangannya dengan kupu-kupu
Disaksikan embun dan cahaya matahari pagi
Aku ingin kau selalu ada disampingku
Karena aku tidak bisa hidup tanpa jantung hatiku
Aku ingin kau selalu tersenyum
Karena aku tak bisa hidup tanpa belahan jiwaku.
Tetaplah kau menjadi dirimu sendiri seperti saat ini
Menjadi bidadari hatiku
Karena tak mungkin aku bahagia bila tidak bersamamu.
Aku mencintaimu
Melebihi yang ditakdirkan Yusuf kepada Zulaikha
Melampaui batas cintanya manusia biasa
Sayang...
Jika suatu saat nanti
Jasadku tidak ditemui lagi
Temukan aku di sela-sela puisiku ini
Pada setiap huruf-hurufnya aku abadikan cinta kita
Karena aku tak rela kisah cinta kita menghilang begitu saja
Aku ingin cinta kita abadi selamanya
Sampai ke taman surga
Karena sesungguhnya...
Bahagiamu adalah bahagiaku...
Sedihmu adalah matiku...
037. TERPAKSA AKU IKHLAS
(Puisi kolaborasi)
A
Kesederhanaan matahari menjaring gerimis
Menuntun lirih nafasnmu..
memintaku untuk tersenyum..
Walau hebatnya luka memilih tak berdarah
Luka ini menghentikan detak-detak jantungmu
Di dalam tubuhku
Dan menenggelamkan wajahku
ke dalam lumpur siluet musafir cinta.
B
Itu salahmu, sayang...
Kamu kalah menghadapi tajamnya lidah
Gagal memaknai matahari terbit
Tetes air mata kau sebut embun pagi
Yang bertahun-tahun bergantung di langit.
A
Sayang...
Pelangi di bola matamu memaksaku untuk ikhlas
Merestui segala apa yang yang engkau mau
Satu-persatu catatan romantis denganmu
Bercucuran dalam peluk terakhir yang tak ku sadari bahwa itu adalah muara.
B
Aku memilih jalanku tanpa engkau tahu kemana arahnya.
Lupakan saja aku..
Engkau tak perlu berhenti saat melihatku berjalan kaki..
Sendiri..
Jika suatu saat nanti kau temui debu di jalan
Itulah aku...
A
Sayang...
Bekas kecupan mesra menggoyang ikhlasku
Kaku mejadi relief di belahan bibirmu
Dan ikhlasku lapuk menjadi segenggam pasir
Jika suatu saat kau temui ia terhempas angin
Itulah aku...
B
Kini...
Halaman sudah menghilang
Taman sudah kerontang
Tinggal bagaimana mengikhlaskanmu
Walau luka ini ku bawa mati.
038. PENGKHIANATAN CINTA
Rasanya aku ingin mencungkil mataku
Dan menutupinya dengan bayangan hitam di pundakmu
Tapi, itu tidak mungkin
Karena aku masih ingin melihat akhir kisahmu
Kisah bersamanya yang kau pertaruhkan atas diriku
Sekalipun sangat menyakitkan.
Ketika burung-burung camar menari
Menanti kehangatan mentari pagi
Airmata adalah caraku berbicara tentang langit yang terlihat kosong
Kepada awan yang menyimpan pelangi
Kepada angin yang menggoyang ilalang
Kepada ranting yang menaggung putik dan benangsari
Aku mengutuk bayangan mesra di depan mataku sendiri...
Sebuah kenyataan yang tak pernah aku bayangkan akan terjadi dalam hidup ini.
Engkau benar-benar keterlaluan
Tidak memperhatikan bagaimana hancurnya hatiku.
Dari semua kata sedih yang pernah aku katakan
Tak lebih menyiksa dari penhgkhianatan.
Meleleh... Membara... dan mendidih...
Di dalam tubuhku yang dulu pernah engkau kagumi.
Aku tidak marah...
Aku hanya kecewa...
Kecewa yang menutup semua pintu rayu.
039. SENDIRI KESAKITAN
Dengarlah wahai kekasihku...
Kesendirianmu seperti butiran air hujan dalam aliran darahku
Tak pernah reda mengorek rinduku untukmu
Kesakitanmu telah membuat
dadaku terbelah
Tiada henti-hentinya meneteskan air mata darah.
Keadaanmu mejadi dilema perjalanan matahari
mewakili bekunya embun pagi.
Bumi dan langit tak akan pernah satu nafas
Walau gemerisik angin mengundang gerimis.
Sepertinya tuhan sedang mengajarimu untuk tersenyum
Sekalipun dalam keadaan sekarat
040. MASIH
Untukmu yang pernah aku singgahi
Dan masih tetap aku jumpai
Sampai saat ini.
Semoga suaraku tidak mengganggu tidurmu
Suara yg berkelana diantara tidur dan jagaku
Memutar kembali sketsa derama percintaan
Yang sempat dimainkan badai dan taupan.
Bayangmu menyelubungi malam-malamku
Dan hari-hari yang tak pernah lepas hingga aku menemukanmu.
Terluka...
Pada saat dia mabuk
Tertekan...
Pada saat dia terhimpit.
Dalam kondisi seperti ini
Aku memang tak terlihat apa-apa
Aku sadari lukamu itu sebuah patahan
Tak mungkin disambung dengan benang murahan
Yang mudah ditemukan di pinggir jalan.
041. BUNGA LAYU DALAM KACA
Aku...
Setangkai bunga
yang kau simpan dalam kaca
Tangkai itu...
Telah patah seribu
Dan bunga layu tiada bermadu.
Engkau kekasihku yang ditakdirkan bersama orang lain
Demi cinta..
Telah aku tahan beribu suka dalam batin
Telah aku korbankan waktuku untuk menganyam sebilah mimpi
Hingga ku abaikan usia matahari..
Selama ini
Aku terbuai desir lembut angin
Yang menepikan buih-buih di lautan
Melambaikan rumbai-rumbai janur kuning
Menyalami jiwa yang nyaris mati tergantung.
Mata terpejam
Terbayang balutan luka yang terlihat akan indah pada masanya
Seakan-akan akulah satu-satunya cinta yang akan engkau genggam
Nyatanya aku terbuang jatuh tertimpa tangga
Aku seperti kelana angin tak bermusim
Sepi...
Sunyi..
Sendiri..
Aku lah bunga dalam kaca
Korban kebutaan cinta
042. SAHABAT DUMAY
Tak setetes pun darahku mengalir di nadimu.
Tak sehelai pun benang guritaku mengikat di tubuhmu
Engkau yang jauh disana
Entah dengan siapa
Santun sapa riuh bersimpul di layar kaca
Kadang aku tertawa lalu diam
Kadang aku jengkel lalu tersenyum
Sendiri..
disini..
Cerita ini terbangun tanpa rencana
Bersamamu...
Tak perlu tempat untuk berjumpa
Tak butuh waktu untuk bercinta
Cukup dengan satu rokh puisiku saja
Bisa ku hembuskan beribu kisah nyata
Tentang pertemanan matahari dan bumi
Yang melahirkan serpihan-serpihan pelangi
Indah penuh sensasi
Melengkung jadi rusuk cakrawala
Mewarnai ragamnya peradaban dunia.
043. AIR MATA BIANGLALA
Telah kutanam sebuah nama di dalam genggaman
Ku lempar ke udara untuk mengubah badai menjadi semilir do'a
Menyebutmu dengan bahasa embun
Berbutir riuh sangkal di ujung dedaunan
Dan meneteskan haru pilu di malam purnama
Benih itu sempat menghilang di tepi laut
dan dikembalikan segumpal angin dalam keadaan carut marut.
Aku tersentak oleh lintas roda dunia
Dan kau terlunta diatas pusara asa.
Seuntai benang merah muda seketika menjadi merah tua
Serupa matahari tercelup di lautan menutup cerita.
Sebelum cahayanya tuntas membiaskan rona bianglala
Patahan ini tak lebih menyakitkan dari pada bisik bintang kejora
Prasangka menekan sunyi malam melumpuhkan kalimat puja.
Tawa senyap kedinginan oleh cahayanya sendiri
Cahaya dalam satu kepalan malam yang tak dikehendaki
Simpanlah air matamu..
Tinggalkan aku..
044. RINDU BERAT
Kupinjam deru ombak
Yang selalu gemuruh mewakili nyanyian tembang tua di wajah-wajah pemulung.
Untuk merangkulmu.
Kupinjam birunya langit
Yang tak pernah runtuh menanggung beban awan hitam dicambuk halilintar.
Untuk memujimu.
Kupinjam desir angin
Yang tak pernah diam mengalir ke jantung butiran embun di ujung tanduk ilalang.
Untuk menjumpaimu.
Ku pinjam bahasa cinta untuk menyapamu.
Ku pinjam bahasa rindu untuk memelukmu.
Ku pinjam bahasa kekasih untuk merebah di pangkuanmu.
Ku pinjam bahasa ibu untuk mengecupmu
Darahku serupa air terjun
mengalir deras mengingatmu.
Nafasku serupa badai
berhembus kencang menyebutmu.
Jika mereka bahagia
karena pernah berjumpa
Bagaimana denganku
Yang tak pernah bertemu
Tapi. Menyimpan rindu.
Akulah manusia yang paling gila.
Paling mabuk cintamu.
Paling tidak tahu malu mengharap tali kasih.
Sementara tanganku hanyalah pasak tiang rapuh.
Yang tak pantas engkau cintai.
Namun...
Aku tidak sanggup bila kau abaikan.
Apalagi kau benci
Ku tanam asa di dasar hati.
Sedalam kasihmu menombak debu kemarau di musim kerontang.
Sedalam laut menelan berjuta mutiara ditusuk konde nenek moyang.
Sedalam mata hatiku yang bergetar-getar menunggu kehadiranmu.
Ku sempurnakan cintaku pada setiap helaan nafas.
Tegar merayumu di setiap kedipan mata.
045. TUMITMU
Dengan melihat tumitmu
Matahari menjadi terang
Langit menjadi cerah
Bulan menjadi purnama
Laut pun bergelombang
Tumpah ke bibir pantai
Menjadi air liur manusia-manusia lemah
Apalagi menatap kerlingmu yang anggun
Di sudut bumi dan langit.
046. BUNGA DALAM KACA
Bayang-bayang gagap menyelinap
Dari balik kaca tanpa cahaya
Ego menusia menguasai mata gelap
Menggores kening keriput titisan Rahwana.
Tegar berdiri
Dalam sunyi
Tegak bersama takdir
Sejalan arus mengalir
Tubuh yang remuk di rongga mulut
Hanya silatan lidah di rumah siput.
Ombak laut, datanglah..!
Gelombang samudera, hantamlah..!
Jiwa yang tenang, manusia tangguh
Sebagaimana kokohnya batu karang
Menghadang prasangka yang datang
Sebagaimana menyucikan cinta
Semedikan bunga dalam kaca.
Jiwa yang tenang
Terdiam menahan tekanan darah
Setiap kali memanas dan mendidih
Kidung-kidung asmara kalimatut thoyyibah
Selimuti tubuh yang elok bermata jernih
Sementaraaa...
Angin beriak merengek dalam ketiak
Serupa lirikan mata
Sayu terhimpit sajak.
047. TAK SAMPAI
Di matanya
Ku rasakan lembabnya kegelisahan
Tersebab kecewa pada awan
Yang tak kunjung menjadi hujan
Dan setangkai melati
Yang gugur sebelum bersimpul jemari.
Akhirnya..
Dia merela bersila di tepi pantai
Menatap ombak berkejaran tiada henti
Menyuling senyum dari rongga kehidupan
Mematung sesak pada karang keabadian
Berkali-kali menjauh lalu mendekat
Berkali-kali menghilang kembali terjerat
Mencoret sebuah nama tak berpantai
Yang tak mungkin dia miliki
Cahaya bulan menyusut oleh risau malam
Tersangkut reranting berbayang hitam
Hancurnya riwayat mengusung selarik cerita
Menutur sebentang rindu yang pernah menjadi raja
Menggelora di istana antara luka dan kecewa
Rasa itu pernah meratai mimpi
Dan pada hari ini ia tangisi
Karena takdir yang tak mungkin diganti
Oleh seruncing duri
yang bersarang dalam hati
Jika ia tak bisa meneteskan terang
Lebih baik menjadi seonggok arang
Dari pada berdebu
Berpacu dengan bayu
Lalu cerita itu menjadi kobaran api
Melalap patung sejarah dan prasasti
048. ALASANKU MENCINTAIMU
Cobalah pegang setangkai bunga ini, sayang!
Peganglah..!!
Lalu pandangi
Sedalam matamu hati memandang
Penuhi kebahagiaan dan harapan
Seketika, bunga ini menjadi cengar dan segar
Di tanganmu.
Lalu lihatlah bunga-bunga disana..
Semuanya
merunduk.. menunduk
layu... dan cemburu...
melihatmu memegang bunga ini.
Seandainya kau mendengar teriakannya
Duniamu pasti hancur.
Sudahlah..
Tak usah kau tanyakan lagi "apa sebabnya?"
kehangatan dan kelembutan tanganmu..
Adalah pancaran matahari pagi
Karena itu
Aku larutkan cintaku
Kedalam urat nadimu
Agar bisa berlalu-lalang
Keluar masuk di jantungmu.
049. ENGKAU TULANG RUSUKKU
Mungkin kata-kataku ini
Akan membuatmu terkejut,
Karena ku petik dari ronta jiwa..
Yang bergelantungan dibawa kelopak mata
Aku tulis puisi hatiku
Dengan melepas sajak dan majas
Serta menyingkirkan diksi dan literasi
Agar aku bebas menulis
Diatas gemuruh cintaku.
Dengarkan aku baik-baik sayang...
Aku mengenalmu seperti bertemu surga.
Wangimu tercium sejauh perjalan 40 hari 40 malam jalan kaki.
Tp.. bukan sejauh itu adaku untukmu.
Aku selalu ada di bawah jendela hatimu
Untuk menjaga dan memastikan hatimu..
Tetap cerah ceria seperti langit biru
Aku tidak akan pergi meninggalkanya
Sebelum.. dan sesudah engkau buka pintu hatimu..untukku.
Selamanya...
Duduklah di dekatku sayang..
Yaaa... di sini.. di sampingku
Karena engkau adalah tulang rusukku..
Yang melepas di surga dulu
Tetaplah mendekap di sisiku
Agar wangimu bisa aku rasakan
Dari arah tanpa batas jarak dan waktu
Sayang...
Jika kamu punya senyum
Berikanlah kepada setiap orang yg menjumpaimu
Jika kamu punya bulan, atau bahkan bintang-bintang,
Berikanlah semuanya kepada sahabat-sahabatmu.
Karena kamu sendiri saja..
sudah cukup bagiku.
050. TERIAK MESRA
Izinkan hamba menyapamu
Lewat retak keringat
Yang berpijar pesona kelembutan
Dari perjalanan cinta
Yang sesekali berteriak
Saat malam menyembul hawa dingin.
Oh, andaikan hamba bisa bercerita
Tentang bulan yang memasung keheningan
Dan matahari yang menusuk jantung pagi
Maka cahaya
Adalah kecupan mesra
051. SURAT KECIL UNTUK KEKASIH
Lupakan saja aku
Lalu kubur aku dalam-dalam
Tanami diatasnya bunga-bunga sebagai batu nisan
Sebagai tanda kematianku adalah kebahagiaanmu
Daripada aku terus menghantui hidupmu.
Akupun juga tidak mau
Melihatmu tersiksa dalam penantian yang tidak tentu ujungpangkalnya.
Kasih...
Aku tidak sanggup memenuhi janjiku
Untuk menjadikanmu bagian dari belahan jantungku.
Aku tidak mampu membelah lautan
Untuk kulalui sebagai jalan penyebrangan
Laut itu terlalu luas
Gelombangnya begitu ganas.
Hapus saja air matamu
Kini aku hanyalah sesosok mayat
Yang tidak mampu berbuat apa-apa
Kecuali merasakan tangisanmu.
052. JERA JATUH LAGI
Cukuplah satu bulan temani malam
Bias-bias cahaya menikam kelam hingga terpejam
Terangi gelap yang tak sempat disapa lentera
Biarlah ku tudung muka dengan gugusan sinarnya
Aku tak peduli
butiran embun pagi memanjakan diri
menyambut fajar di punggung ilalang
Daun-daun muda melotot tercengang
Hanya sekejap saja
matahari datang mengusiknya
Mengutuk dera di ujung kudeta
Jeraaaa......
Aku menguliti kantuk mata
Hanya untuk sembunyikan nista
Jeraaaa...
Aku jatuh dan terjatuh untuk kesekian kalinya
Lalu bangkit lagi dengan tangan hampa
Aku hanya ingin terbang bersamamu
Mengajarimu melukis langit biru
dengan pahatan-pahatan yang menyeruak pikiran
Membentuk kisah berkasih tanpa kesudahan
Cukuplah jari-jemarimu menjadi sapu tangan
Di saat gerah tubuh hampa keyakinan
Cukuplah senyummu meneteskan air hujan
Disaat nurani kerontang di perjalanan.
053. CINTA DALAM SEPENGGAL MIMPI
Malam itu langit bertabur bintang
Dalam gelap wajahmu bersinar terang
Menyambut batin berseri dalam kamar
Bahagia meraup sahut sapa syahdumu ku dengar
Kalau saja cicak mengerti senyumku
Dia pasti lupa sedang dimana dia berada
Dan dia pasti mencurigaiku
Telah menyulap aksara cinta
Entahlah...
Angin apa yang membuat nafasmu begitu segar
Hingga aku lunglai oleh rayuan tak terkata
Tertunduk jiwaku oleh kesepurnaan rasa
Sempurna senyumku bak bunga sedang mekar
Indahnya tawaran bulan bermadu
Tak lekang oleh ranumnya waktu
Andaikan saja aku tertipu
Aku tetap yakin itu adalah kamu
Ku bawa lari cintamu keluar dari jebakan mimpi
Membawamu terbang serupa sepasang merpati
Kebahagiaanku ini akan abadi
Bila memilikimu tanpa syarat dan emosi
Hasutan rasa mendera keyakinan
Oleh keraguan yang tak beralasan
Sungguh aku tak percaya
Tapi. ini seperti nyata
Cintaku seperti tertanam dalam guci
Huerrrgh....
Kisahnya hanya sepenggal mimpi
054. GEJOLAK RINDUKU
Malam-malamku berguguran
Memgayun namamu diatas telapak tangan
Air mata mengalir berjatuhan
Banjiri do'a suci yang aku tadahkan.
Namamu begitu lekat
Cintaku begitu kuat
Getar-getar imaji untuk memiliki
Menggebu sekencang detak nadi.
Tak ada yang berhak melukiskan
Kecuali derasnya air hujan
Yang seolah-olah rindu berjatuhan
Basahi sekujur tubuh hingga menggigil kedinginan.
Kegelisahan menyapa angin malam
Celotehnya berdesir ke dalam sumsum
Beratnya rinduku seakan menindih
Seperti tertimpa serpihan langit runtuh.
Bila rinduku bergejolak
Bahagiaku seperti berputar- putar dalam benak
Seindah rembulan tersenyum dengan cahayanya
Dan bunga-bunga tersipu menyatu dengan wanginya.
Sayang..., Jika suatu hari nanti...
Rinduku tidak mampu membuatmu tersenyum
Lempari saja aku setetes air matamu
Biarkan saja aku tenggelam
Hanyut dan kandas di dasar hatimu.
055. CINTA BERUJUNG SEMBILU
Mungkin kata-kata ini kau anggap sudah usang
Karena terlontar dari potongan hati yang terbuang
Tak apalah...
Setidaknya aku tuangkan segala perasaan
Yang mesti kau dengar walau berbalut kebencian
Seperti berjalan di tengah musim kemarau
Terik matahari membakar pilunya waktu
Ketika sendi-sendi melepas rasa
Hendak berdiri tegak tak berdaya
Dan menyibak kelopak mata senja
Tapi, rasa ini mati dibantai orang ketiga
Ada satu hal yang perlu kamu ingat sayang..
Saat-saat melakukan hal gila bersama
Kau titipkan hatimu pada sepotong jiwa
Saat-saat berbagi mangkok yg sama
Ku tindih kakimu di bawah meja
Di saat itu kita benar-benar bahagia
Di sudut hati kita terukir panorama sorga
Kini...
Kemanakah senyummu menghilang
Setelah kepergiaku dirantau bayang-bayang
Karena ketidak mampuanmu menahan dera
Yang jauh lebih aku rasakan disana
Kepasrahan menyisakan dosa-dosa
Serta keabadian rintihan air mata
Menyirami jalan yang pernah kita lalui barsama
Berujung sayatan sembilu dalam dada
Dearly baby...
With what I have to treat my heart wounds
And restore my lost love immediately
Dihadapan barisan kumbang-kumbang
Langkah terpaksa berhenti dikutuk masa
Seakan-akan berhenti diantara dua jurang
Kematian kupu-kupu menggeliat bak terpanggang bara.
056. TITIK
Titik mengantung di ujung rerumputan
Berayun kembang meliukkan dahan
Memacu langkah gesitnya bertingkah.
Terus melaju tanpa jeda
Melesat...
Hingga sampai ke titik jenuh
Dan...
Mengering...
Di titik darah penghabisan
Sebatang rusuk patah
Berpura-pura lenyap dalam genggaman
Tik titik tana liyut pocettah koddhuk
Titik terdiam menggumpal di akhir kata
Mengurai huruf-huruf yang pernah tercipta
Mengeja sebuah nama yang merimbun bunga
Dan melilit di sudut bibir dan retina.
Tik titik tana liyut pocettah koddhuk
Titik-titik menetes jadi air mata
Lalu tumpah jadi samudera
Menyibak misteri Adam dan Hawa.
Akhirnya...
Titik menjadi terang...
Bahwa engkau adalah titik terlarang...
Dan
terindah, TITIK.
057. AKU DAN PUISIKU
Kalau saja...
aku tulis puisiku pada lembar mahkota bunga
Cacing-cacing tanah menghayal bisa terbang.
Kalau saja...
aku tulis puisiku pada dinding purnama
Bintang-bintang kecil menyusup ke tubuh kunang-kunang.
Tapi...
Ku sajak alam semesta
Ku tulis pada tulang-belulang manusia
Yang berserakan diantara etika dan logika
Lalu jemarimu pagari mata hati dan telinga.
Jika kau sangka aku buaya darat
Seribu bidadari-pun bisa aku dapat
Hanya dengan sepotong puisi
Bila aku sudi...
058. CINTAKU YANG REMUK
Kurebahkan tubuhku
yang rapuh oleh kalutnya waktu
Berguling butiran keringat malam
Berdenyut nadi di ruang senyum
Imajinasi menetes di lorong-lorong mimpi
Rengekan pintu tua bernada pilu
Saat ku coba bernyanyi mengusir sepi
Syairkan cinta yang remuk di hari ulang tahunku
Nyanyian sendu ramaikan dunia
Lagu-lagu rindu mengajak bernostalgia
Irama detak jantung mengguncang dada
Sekeras halilintar menukik di ubun-ubun cerita
Lalu aku belur lunglai tak berdaya.
059. TERTAMBAT PENGKHIANATAN
Di dindingmu berjuta lukisan janji
Gambarkan indahnya hajatan
Lalu kau cabik-cabik kembali
Karena ngeri bayangan yang dirindukan
Tembok beku enggan mengemakan suara
Suara yg pekak oleh pekik sesumbar
teriakan keras dari atas mercusuar
Menyambar perselingkuhan berbunga tujuh rupa
Sekuntum bunga jadi rebutan
Bunga-bunga yang lain terinjak di bawah meja makan.
Tertekan disandera kekalahan
Menjerit terhimpit rayuan setan
Tentangmu coretan buram tak bernafas
Tak mungkin selongsong paku menggores
Kecuali matahari tak lagi bergantung
Di atas langit retak kemarau menggulung
060. SEPI MENJEMPUT AIR MATA
Dimanakah hembusan nafasmu
Biasanya berdesir menemaniku
Silir-semilir meniupkan angin manja
Rindu sentuhan raga bersandar nyata
Kesunyian ini sering datang dan pergi
Melambaikan tangan lalu memeluk diri
Jika semuanya harus diam membisu
Izinkan aku merayap ke dalam lelapmu
Malam-malamku meredup
Segamang menyusuri sisa-sisa hidup
Apa yang bisa aku tatap
Sebatas lentera kecil dimainkan bidadari tak bersayap.
Oh malam...
Dimanakah keindahanmu
Yg dulu kau berikan padaku
saat nuraniku dalam kesunyian
Kau taburkan bintang-bintang berkedipan.
Jika rohmu membeku sekarat gulita
Aku tak memaksamu menjadi purnama
Cukuplah fajar menjemput air mata
Di sudut-sudut malam ku haturkan padaNya.
061. RAPUH DALAM RAGA
Sajak berbunga terjuntai dirapuh ranting
Menitip rindu pada sebatang pohon kering
Biarlah terkelupas oleh angin dan matahari
gemetar oleh gemuruh petir berjubah pelangi
Biarlah tumbang musnah di padang ilalang
Kembali hina di comberan melegam arang.
Bila matahari terbit
Ketakutan ini menjerit
Seperti menghadapi hukuman mati
Mengarak asa dirantai mimpi.
Hembusan nafas semakin gila
Bila terus menahan perihnya luka
Dahsyatnya badai terburuk menyapu
Adalah batinku yg belum kamu tahu.
Jari-jari malam mengadu pada bintang gejora
Menanti langit pekat terbias kerlip cahayanya
Namun bintang itu hadir mengurai air mata
Sebuah tangisan yg menggeliat dlm raga manusia
062. BUNGA SORGA
Seruak kelopak bunga gemulai menari
Terlena gerai rambut diterpa semilir nafas bidadari.
Ruas-ruas malam kagum tersenyum tujuh turunan
Terpesona lembut jemari bersambut di atas peraduaan.
gelembung buih di lautan membeku
Seketika lesung di pipi berlumuran madu
Melelehkan senyum berbunga sorga
Di laut dalam indah berpalung asmara
Lesu tak lagi bersarang keluh
Melihat senyum beraura teduh
Bunga itu bergantung di pelupuk mata
Sekali terpejam seribu tahun menderita.
063. TINGGAL KENANGAN
Aku tak pandai meniti buih di lautan
Untuk menyebrangi gelombang sebesar harapan.
Salahku bersandiwara dalam sepi
Kini hanya menjadi mimpi isapan jemari.
Aku sadari semua itu
Karena tanganku terlalu kasar untuk memetik jantungmu
Terlalu keras penuh kapalan
Pantaslah aku terlemparkan ke muara penyesalan
Siapa yang tak mau menelan tetesan cinta
Dari setetes air di padang sahara
Cukup melihatmu saja
Haus semusim reda seketika...
064. GELIAT LANGIT SENJA
Senjaku berirama mengikuti alunan nada
Dari desahan seruling berdengus prahara
Keindahannya hanya dalam lukisan saja
Seperti menghadapi pedang bermata dua.
Mata memerah nyaris warnai langit biru.
Sedangkan aku....
tak punya alasan utk membencimu.
Sebagaimana dulu....
aku tak punya alasan utk menyayangimu.
Disini...
Aku hanyalah serpihan beling bukan permata.
Setiap hari menggeliat terpapar matahari.
Mimpi-mimpi pun digerogoti semut lagi basi.
Sementara kau di sana bersinar sekilau mutiara.
Sudahlah...
Tak usah kau tanyakan lagi apa-apa
Dan tak perlu kau katakan lagi apa-apa
Jawabanku pasti sama...
Aku menahan sebuah cerita
Menjalani lakon yg tak sempat menuai tawa
Seperti yang dikatakan retak pada pecahan kaca.
065. TERHALANG DAUN SERANTING
Sore itu...
ingin ku tata kembali serpihan aksara demi aksara
Yang hanyut terseret peluh di tubuh renta
Ia yang selalu bercerita
Tentang untaian hening mahkota bunga
Lantaran derita tawa terhimpit dusta
Dan sapaku merangkum kecewa dirajam dosa...
Malam itu...
Ingin ku sambut purnama merindu
Dengan mendamba kehadiranmu
Aku yang ingin mendengar suaramu
Setelah sekian lama gelap menghalang
Menghilang di balik selembar daun ilalang
Maka....
Berteriaklah aku memanggil namamu
Sekeras petir menyambar ke seluruh penjuru
Namun suaraku hanyalah cicitan kelelawar
Harus luluh redam diperca daun di ranting mawar.
Raut malam semakin larut
Hawa dingin kian menggigit
Suhu jemari gemetar menggigil
Memainkan bara dg ranting-ranting kecil.
066. MENCINTAIMU DALAM GELAP
Perjalanan ini menguras air mata di linang hari
Sinarnya tak sesejuk embun di padang ilalang
kehangatan mentari pagi jua menghilang
terpental kabut setebal tujuh lapis bumi.
Waktuku terus berlalu...
Dan terus berlalu...
Tp sayang...
Tumitmu terlalu halus untuk mengikutiku
Terlalu jauh berliku
Terlalu terjal berbatu...
Tentu tak mampu membimbing perasaan liar dalam angan
Merobek jantung menggoncang iman
Lentera kecil dalam hati mencoba bertahan
Berkisah asmara menelan kepahitan.
Ikhlasku...
Memadu racikan suara bersekat kaca
Mungkin bahagia akan tercipta
terhibur keindahan putik berbunga
Atau tergores nista di bawah ranting cemara
Sayu mata rembulan menghias malam
Rasa sunyi menitipkan setangkai bunga dan sebait salam
Sehampa hatiku mencintamu dalam gelap
Harus tunduk pada kenyataan mengubur harap.
067. KUTAK SANGGUP MENYAPAMU
Terkadang, rasa takut ini lebih besar daripada isyarat mata
Hingga aku kalut tak sanggup menyapa
Dengan serangkaian kata sebagai kecupan mesra
Gerai gemulai jemari menutupi mata
Singgah di bibir lalu bersandar di dada
Saat seperti ini . . . .
aku tdk mampu mengubah deburan ombak
menjadi kata-kata indah nan bijak
Menyulap badai menjadi semilir angin
Melambaikan setangkai bunga untuk kusunting.
Sapaku bartabur bintang ku titipkan
malam berbisik hati ku curahkan
Menggeliat dalam do'a ku tuangkan
Raguku . . . .
Rayuku . . . .
Mimpiku . . .
Hidupku. . . .
Melalui sebait syair yg tak mampu ku kutuliskan...
Hanya dengan tinta emas dari tiga samudera.
Kerap mataku terpejam
Dan sapaku layu dalam diam
Meronta di atas pembaringan.
068. RINDU TERLARANG
Denting piano indah bermain di ubun-ubunku
Detak jantung berdenyut di atas bongkahan batu yang bisu
Hingga aku lunglai terjatuh ke dasar hatimu..
Terbentur kenyataan bersuara sumbang.
Sadarlah aku...
Hanya sebatang duri di tanah gersang.
Ku ikhlaskan semua waktuku yang terbuang
Bayang-bayangmu berbunga dalam mimpiku
Tapi, terlarang bagiku mengharap nyata...
Bayang-bayangku tumbuh menajdi benalu
Dan tak mungkin kau mempersunting-nya...
Maafkan aku . . . . .
Bila senyummu belum bisa ku kembalikan
Menggenggam sejerat janji yang kau lilitkan
Masih menggantung di kelopak mata
Untuk dapat melihatmu bahagia..
Tahulah sebabnya..
Engkau adalah orang pertama
Yang mewarnai hatiku dengan cinta
Serta legamnya darah dan air mata
Yang takkan luntur oleh suramnya senja.
069. SANG PEMUJA
Akulah sang pemuja..
Saat gelap
Aku bersimpuh bersama tembok bisu..
Saat terang
Aku berdiri bersama patung batu..
Saat malam
Kubaiarkan mata tak terpejam..
Untuk menjagamu dari buruknya malam..
Kasih...
Mengapa kamu diam...
Kini aku bergumam dalam senyum..
Bermanja dengan tawa..
Oh andaikan saja...
Manteraku bisa merubah cipta...
Akan kupetik sekuntum bunga
Lalu... aku puja...
Hingga menjadi gadis remaja..
070. NAFAS KEHIDUPAN
Ada satu titik nafas
Itulah air mata hati
Tak kan hilang meski terbenam dalam linang.
Tertanam dari pertama aku memandang.
Semua kisah telah berlalu
Dan terus ku biarkan melaju
Serta hari esok tetap aku tunggu
Segarkan kisah yg tiada layu.
Segenap rasa menyerap di dada
Mengalir ke seluruh jiwa
Dari gelap yg aku rasa
Memyisakan sedikit tentangmu
Mampukah ku sunting namamu
Sementara. . .
bayanganmu selalu menghias
bagiku bayanganmu adalah nafas
Seperti udara yg ku hirup
Mengusirnya adalah
Membuatku m a t i . . .
071. CINTA YANG TERTUNDA
Kekecewaan bersembunyi
Di setiap rongga pori-pori
Hasrat bersimpul diantara rentetan cerita masa lalu
Lorong waktu seakan-akan mundur 15 tahun yg lalu.
Terpana. . . Kagum. . . Wajah termangu
Tak kuasa memandang wajahmu
Penuh luka dan kecewa terhempas waktu
Macan gelora cinta mengaum lewat bait puisi.
Geram geraham mengerang memaki diri.
Bebungaan yg terawat manja dlm hati..
Ku kira sudah mati. . . .
Kau cabuti. . . .
Untuk kau ganti. . . .
Eh, ternyata masih kau simpan rapi. . . .
Cinta yang tertunda menyisakan luka hati.
Teriris-iris se akan-akan tubuh terkuliti.
Jutaan rasa hangus terpanggang bara api.
Semuanya telah terjadi. . . .
Tak perlu kau ratapi. . . .
Seandainya bisa. . . .
Sungguuuuhhh....
Aku ingin kembali ke rahim ibu.
Ingin ku mulai derama yang baru.
Mengulang semua cerita yang terlewati.
Memungut derita cinta yang tersakiti.
Dibawah jembatan kayu sepi berteman mimpi.
Tak kan ku biarkan hilang kembali disapu sang bayu.
Akan ku bawa pulang serta bersamamu.
Dengan menutupi lubang semut tempat bersembunyi.
Aku bukan tupai bodoh untuk jatuh dua kali.
Bulan purnama yang ku tatap tak terlihat.
Seperti yang selalu ku sebut dalam munajat.
Rindu berkarat terkubur dalam lumpur derita.
Enggan bertutur kata karena kecewa dan luka.
Lantaran Cinta Yang Tertunda.
072. RINDU YANG TERTINGGAL
Lima belas tahun yang lalu...
Ku lukis bianglala
Dengan tetesan embun dari sorga
Setiap lengkungan menggoda jiwa
Kala itu...
Semua terlihat indah nyata
dalam dekapan raga pemuja cinta
Lima belas tahun yang lalu...
Ku bangun mimpi-mimpi kecil yang tercecer di jalanan
Memelihara angan-angan di penghujung kerinduan
Semua indah tersusun rapi di halaman jiwa
Bergelantungan semerbak senyum di pelupuk mata.
Lima belas tahun yang lalu...
Ku coba mengurai benang merahmu
Diantara rintihan dan jeritan kalbu
Sungguh. . .
Aku terbuai dalam mimpi-mimpi surgawi
Karena terlena padamu sang bidadari.
Di sana...
Hatiku terpaku dalam kubangan kemesraan
Tiada rela di jiwa untuk ku lupakan.
Mata hati... mata sang rembulan...
Bagai bersemedi di balik awan
Mata hati... mata sang kekasih
Rindu ini membara...
cinta ini mendidih...
073. SENYUMMU MEMBUNUHKU
Di danau asmara pantai cuma kamu
Tubuhku terayun oleh derap langkah waktu
Letih menelusuri ribuan detik kisah tanpamu
Bersama deru ombak dan panas mentari
Di bawah gubuk derita beratap rumbai jerami
Lirih nadamu penuh kepastian hampa tanpa rayu
Semilir angin pantai melucuti kerinduanku
Yg bertahun-tahun terpendam dlm kalbu
Deraian daun cemara diterpa angin pilu
Meremas-remas jantungku yg tak pernah layu
Kini...
Semua melepuh dlm celoteh bibir manismu.
Di hadapanmu aku merasa kaku
Detak nadi seakan-akan berhenti mengukur waktu
Sepertinya, senyummu t'lah membunuhku.
Di bawah gubuk derita
Sesekali air matamu menepi di sudut mata
Tanganku beranjak ingin menghapus dosa
Tapi. . .
Kau biarkan rohku terbang bebas berkelana
Penyesalan lumpuh tak berharga.
Aku bukan merayau atau menggoda
Mata hati . . .
Mata batin . . .
Belum melepas dahaga
Membelai lukisan mawar pertama
Penuh gairah bangkitkan semangat jiwa.
074. RINDU BERDARAH
Ku tatap wajahmu penuh rasa rindu
Ingin sekali-kali ku remas jantungmu
Tapi...
Aku takut luka masa lalu
Kembali menganga dan berdarah
Biarlah rindu ini ku tahan
Terkurung di nusa kambangan
memang tak pernah ku bayangkan
Mengunci kenangan penuh harapan
Seperti macan glora cinta
Tinggalkan mangsa dalam rimba
Esok hari pasti dijamah mata senja
Dan bayang-bayang fatamorgana
Pasrahmu legakan batinku yg terhimpit dosa
Sesak nafas kaki tangan terbelenggu
Ku kira utk siapa mawar melati berbunga
Pasrahmu pasrahku melebur menjadi tawa palsu
Retak muka remuk dada
Jika ku kalungkan padamu.
075. INGIN SELALU MENEMANIMU
Malam ini . . .
Ingin kuhadir ke dalam mimpimu
Menemani sunyimu melumat kegalauan
Sambil ku ceritakan indahnya mawar
Yang bertengger di telingamu
Menjadikan matamu berbinar-binar
Bercahanya seindah mercusuar
Menyibak buruknya malam
Hanya dengan satu kedipan mata
Dan senyummu tawarkan bisa kumbang
Jinakkan merpati dengan belaian kasihmu
076. PILIHAN GANDA
Sejak nafasku berhembus rasa
Tak sedetikpun bayangan tertinggal
Menari-menari diatas logika
Hanyut dipangku teman khayal
Maka pantas...
ku tak naik kelas...
Karena ujian...
ku jawab dengan khayalan..
Bila dihadapkan dengan pilihan ganda
Ketimpangan datang mendera jiwa
Cukup menakjubkan dan menyengsarakan
Menambah kegalauan dan kegelapan
077. TERHALANG KANVAS KACA
Tarian penaku menyekap riak rasa..
Mengusik rerumputan yang enggan menjawab tanya..
Mengapa aku bertemu bulan
Kalau hanya mengguncang harapan
Mengapa tidak bulan sabit saja
s e l a m a n y a . . . .
Agar tak mengharap cahaya lembut darinya
Dari pancaran malam-malam penuh tanya
hanya selembar kanvas kaca..
Yg mampu menyimpan lukisanmu..
Tangan tak sampai menyentuhmu..
Merabamu mengurai syahdu Kasihmu..
yg sempat menetes di kalbu..
Andaikan rayuku bisa meronai langit
Pasti ku ajak bintang gejora
Melengkapi cerita pelangi
Yg terputus oleh matahari
Dan menyebabkan ia terbakar.
078. SATU JAM SERIBU SATU MALAM
Kucoba menahan diri
Tapi, kuharap ini terjadi.
Lembut seperti sutera
Sejuk bagai angin surga.
Putihnya seperti kapas
Hangat bersuhu nafas.
Sunyi dalam kebisingan
Diam dalam kesibukan.
Getaran apa yg kurasakan
Mampukah kiranya engkau terjemahkan???
Kata bijak mengalir lirih tersusun rapi.
Mengharap waktu dapat sejenak berhenti
Di pangkuanmu, Istambul seperti dalam mimpi
Terasa kaki tak lagi berpijak di bumi
Terbang jauh tinggi bersayap pelangi
Lalu terbuai keindahanmu tiada bertepi
Lentik jemarimu merangkak di ubun2 dan pipi
Hingga sampai ke puncak keheningan sejati
Satu jam seribu satu malam
Di bawah pelangi kutemui burung-burung bernyanyi
Bernada cinta seirama petikan jari..
Tak kusangka sejauh ini pikiran bersayap
Menguasaimu sekejap dalam gelap..
Sajian rasa semakin liar percayara diri
Diantara harum bunga dan tajamnya belati...
Satu jam seribu satu malam
Lemaskan batang linggis..
Patahkan ujung keris.
Satu jam seribu satu malam
Tubuhku bagai dirogoh sukma burung elang
Dibawa terbang keangkasa melayang-layang
Jiwa tersesat sesaat di hilir perjalanan
Sembunyikan senyum di pangkuan bulan
Lepas nyaris hilang tampa lambaian tangan
Lalu...
Hati meleleh rindu berkembang
Terkurung manja di balik kerudung
Nostalgia ini tak kan pernah hilang
Walau bunga pesona itu telah dipetik orang
Andai waktu bisa aku sita
Aku ingin tetap disana
Menyandarkan kepala
Di pangkuanmu, puja
Walau satu jam saja.
079. PIARA LIUR
Bayang-bayang harimu menyandera jiwa
Hingga aku tak bisa kemana-mana
Hanya bisa mengintip
Dari balik bukit
Kadang tersenyum
Kadang menjerit
Indahnya ciptaanMu ya robbi
menyusup ke alam mimpi
Elokkan matahari yang terbenam
Kerlipkan gemintang hiasi malam
Gugusan senyum terbuka
Selimuti hari-hari yang tak biasa
Selaut mutiara ditimang renung
Kemilaunya menggetarkan detak jantung
Sembunyikan bayangan di balik teralis besi
Merahasiakan keadaan yang tak perlu diketahui
Oleh siapapun...
Termasuk kamu...
Sejuknya cahayamu terhalang bumi
Menyisakan bias yang kian tak pasti
Semburat noktah bercabang kebekuan
Diantara hitam dan putihnya keyakinan
Aku tidak sanggup...
Menahan ucap riuh makian dalam tubuh
Menekan kecup syair terkata lain di bibir
Ampuuunnn...
Kata-kata ini tidak bisa diteruskan
Menjadi kalimat yang dipahami perasaan
Cukuplah sepotong daging ini menjadi ladang subur
Ter-untuk rasa yang menghijau merumput liar
Biarkanlah... biarkan...
Abaikan.....
Hiraukan...
Relakan...
Endapkan...
Diamkan...
Sembunyikan...
Percuma menggarami lautan
Bila asam di gunung bergantung di dahan
Ku titipkan pujiku pada embun pagi
Biar matang dimasak matahari
080. MAAFKAN AKU
kasih, maafkan aku...
Bila gagal aku menjadi matamu..
Utk melihat indahnya pesona langit biru..
Bukan ulat bulu yg aku janjikan..
Tapi...
kupu-kupu indah yang aku berikan..
Kasih, maafkan aku....
Bila gagal aku menjadi telingamu..
Utk mendengarkan lagu-lagu rindu
Bila kicauan burung-burung pengantar embun pagi..
Tak semerdu bisikan sapaku dalam bingkai puisi..
Maafkan aku sayang....
Bila gagal aku menjadi hatimu..
Merajai tubuh dan sukmamu..
Menjadi kelambu aura kasihmu..
Menjadi rumus dalam hitungan waktumu...
Mari kita buka lembaran baru
081. SIAPA AKU
(The Masterpiece from Zaini Dawa)
Sebait kata terakhirmu
Cukup meremuk redamkan kalbu
Senyum yang tersisa diakhir sapa
Mengguncang naluri merobek asa
Siapa aku?
Tak mampu ku menjawab dengan aksara
Aku yang tlah menggoreskan luka
Kembali menguras linang dinetra
Adaku serupa tawarkan harapan palsu
Diatas kenyataan nada sumbang hatiku
Kini kau tersiksa dalam dilema cinta
Tersebab bimbangku membagi rasa
Siapa aku?
Tak mampu kuurai dengan bilangan angka
Hitungan yang tak ada ujungnya
Serupa hasratku mengikuti gelora rasa
Lukamu tak terobati dalam hitungan masa
Mengendap bersama serpihan lara
(#editing by_kidung_perindu_asmaragama)
082. BELIUNG RASA
Siang sudah hampir hilang
Malam akan segera datang
Aku mulai berdikir
Meyebut nama yang terukir
Dalam hati tak bertabir
Sirami redupnya malam
Dengan tetesan embun di wajah
Dan linangan air mata rindu
Agar...
Malam tak lagi dungu membisu
Seperti yang dulu.....
Atas nama cinta......
Aku kalungkan matahari
Untukmu …
Yang slalu bersandar di relung hati
Agar raut beliung sunyi
dan rasa mati
Bersembunyi
di balik jari-jemari.
083. JERAT PERCINTAAN
Keluguanku berakhir selayu bunga..
Di saat aku msh segar mewangi
Kau jambangi dg janji bermutiara..
Aku percaya engkaulah penjaga hati..
Senandung titian rindu
Mulai berirama sendu dlm kalbu..
Decak kagum-pun tak terbendung lagi
Meluapkan untaian syair dan bait-bait puisi..
Aku tersenyum bila kutemui bahagia
Karena itu yg menghantarkan ke sorga..
Sorga yg kau ceritakan...
Sorga yg kau janjikan...
Seiring bergulirnya waktu
Sorga yg ku tunggu
Hanya goa berlumut biru..
Aku terus bertahan dengan janjimu
Hingga waktu tak ramah lagi..
Cahaya mentari mulai terbagi..
Sembari mengusik kejora dengan fajar
Membelai burung-burung tak bersangkar..
Dalam kepolosan piara kebohongan
Bertahun-tahun hidup dalam kebekuan.
Aku sadar...
Ternyata...
Senyummu hanya polesan kepalsuan.
Tapi, aku masih terkurung dalam keraguan.
Inikah jeratmu..
yang selama ini..
Aku tunggu..???
084. MAWAR BERDURI
Dengan mata telanjang
Ku coba menadah langit
Menepis matahari...
Mengais pelangi...
Menapak bulan...
Mengurung fajar...
Agar dapat menjelma sukmamu ...
Tapi, Masya Allah....
Di langit kau telah meremas-remas rinduku yg terkelupas
Memapar taring–taring halilintar
Dan mengikir taring–taring petir
Dan, Subhanallah ......
Dinding kerajaan di relung hatimu
Begitu kokoh untuk bisa di tembus
Hanya dengan syair dan puisi
Dan, Innalillahi ...
Kini, beliung sunyi telah mati
Tertusuk bunga mawar berduri.
085. PERJUANGAN YANG SIA-SIA
Aku tahu suguhanku
Tak mampu mewarnai langit biru..
Namun hasratku begitu membara
Membuatmu tersenyum dan tertawa
Mengubur empati demi cinta suci
Membangun mimpi untuk kau hargai..
Kudapan pagiku menguras air mata
Padahal aku hanya ingin kau puja
Menjadi bagian gerak langkahmu
Menyambut nadaku dengan siulan merdu.
Bahagiaku hanya sebulir tasbih
Tersebab kicauan mesramu setumpuk buih
Tak segigih perjuanganku yg tersisih
Dengan menopang dagu rasa ini tertindih.
086. CINTA GILA
Mawar...
Engkau tak perlu bingung
Sebab bintang tertutup mendung
Engkau tak perlu bersedih
Walupun diantara kita harus ada yang tersisih.
Engkau tak perlu gelisah
Hingga tapak-jejak berujung pasrah
Laut mana yang tak bergelombang
Daun apa yang tak diayunkan angin
Ingat pantai yang akan menghentikan
Ingat ranting yang akan melenting
Mantra-mantraku berupaya mencari rupa
Pada setiap huruf-hutuf menitipkan raga
Raga yang terseret ke rongga kuncup bunga
Melanjutkan kisah cintanya Yusuf dan Zulaikha
Mawar...
Jika kata-kata ini berubah nama menjadi angin
Biarkan ia berdesir bertiup membelai rambutmu.
Biarlah ia bertiup memainkan lentera kecil di kamar pengaten
Biarlah ia sempurna memiliki tanpa engkau tahu
Jika benar cinta itu gila…
Hantarkan aku ke rumah sakit jiwa
Bekali aku sepatah kata
Akan aku tukar seribu daya
Jika benar cinta itu buta…
Berilah aku sepotong rotan
Sebagai mataku menjalani kehidupan.
Mawar...
tajamnya seribu duri menusuk kulit
satu dua hari pasti bisa kucabut
tapi, tidak...
Tidak dengan cintamu
biarkan tetap meruncing
Menusuk-nusuk daging
Aku tidak akan mati
tidak akan mati...
087. DILEMA DURI BERBUNGA
Sebuah perjalanan kembali menjemput
Sepotong jiwa yang lama tersesat
Batang-batang lapuk
Tangkai-tangkai tua
Daun-daun kering
Meronta menghunus rasa
Kujelajahi rimba relung hati
Yang penuh serat-serat ilusi
Kutata kembali seiris tawa
Dalam ruang tanpa cahaya
Yang didapat dari kesalahan rasa
Di antara dua pilihan ganda
Oh...
Aku pilih awal
Jika harus berdiri pada sebuah dilema
Namun...
Aku belum dihadapkan pada sebuah akhir..
Sementara...
Aku rela...
Memilih tersesat sementara
Dalam bulatan duri berbunga..
088. RINTIHAN BURUNG ELANG
Percuma sayap dikepakkan
Bila kaki tak mampu mencengkram
Asa melepuh seketika melepas tangan
Batin-pun berteriak dalam diam..
Oh.., mungkinkah dunia ini
Terlalu luas utk disebrangi
Atau sayap ini terlalu regang
Untuk menjemputmu pulang
Sebenarnya...
Aku tak ingin beranjak pergi
Meninggalkanmu sepi sendiri
Tapi...
Penjaga hatimu sedang menunggu
Sambil bermain-main di iris matamu.
Pergilah . . . . . !!!!
Biarpun cakar ini patah
Kau tak perlu lagi menoleh
Disana hatimu lebih indah..
089. MENUNGGU SEBUAH JANJI
Aku tunggu datangnya awan
Yang menjanjikannya hujan
Mengundang indahnya pelangi
Yang menjanjikan redanya gerimis.
Aku tunggu mekarnya bunga
Yang menjanjikannya aroma
Memikat lebah utk menjadikan ia madu.
Aku tunggu...
Hingga musim berlalu...
Tak ada ombak dan angin yg ditawarkan
Hanya kerontang debu yg bertebaran
Dan menjadikan ia membatu kepanasan.
090. AKU TAK INGIN PERGI.
Tujuh puluh tahun ku jalani semediku
Diantara ribuan jiwa dan kuncup bunga
Tak perduli jadi batu ataupun debu
Setiap hari ingin disapa
Oleh cinta dan tetes air mata
Bahagia sehari bersamamu
Seperti tujuh puluh tahun dlm semediku.
Kau hadir bagai tiupan angin
Kurasakan ada semilir di tubuhku
Entah kapan nyata akan menyibak semu
Bingung terasa bagai dlm labirin
Aku kembali tersungkur di sudut kamar
Ketika rona bianglala mulai memudar
Melebur dosa yg tak berangka
Membanting hasrat ke langit-langit mata
Rasanya tak ingin beranjak pergi
Tinggalkan bayangan ini...
Kaku digerogoti...
Janjinya sendiri...
Tak terpenuhi...
Bumi ini masih basah oleh gerimis air mata rindu
Bunga-bunga layu kembali segar seperti hatiku
Kembali hidup seperti dalam nyata
Dapat kupastikan "tangis jadi tawa"
Kita mulai mengikat senyum ceria
Diantara reruntuhan kerajaan hati
Kelak akan menjadi seikat bunga
Harum semerbak mewangi
Menjadi kebanggaan sejati
Walau kini...
Menjadi sesal abadi
Tertahan dalam hati.
091. BIDADARI TERSEMBUNYI
Hadirmu serupa desir angin
Dari setiap sudut pandang kutemui
Sentuhan lembut meraba segala yg ku punya
Derai.. derai.. mengundang keteduhan jiwa
Lelapku nyaris hilang terbawa kicauan burung2
Serta rengekan dedaunan terayu-ayun..
Kuasaku hanya tersenyum
Melihat pesona bidadari penuh kagum
Bersembunyi di balik serpihan mutiara kata
Indah bertebaran dimana-mana
Tapi, susah ditata menjadi satu prosa
Untuk meng-elok-kan seikat bunga...
092. MAWAR TUMBUH DIATAS BATU NISAN
Part I
Kelam senja meraba coretan lama
Gelap malam menelan kenangan silam
Keras batu karang berlumut hijau
Tegak tak goyah menepis ragu di balik dungu
Dalam ketiadaan lenyap sapa
Disina ada kehidupan baru
Tampa tetesan kilau air mata
Serbuk sarinya telah di pungut mimpi
Semerbak itu di gotong sebrang waktu
Bebungaan mengangguk di atas cadas buatan
Berjambangan kaku batu nisan
Mencoba melepaskan rasa
Menutupi ujung-ujung duri
Sunyi memang tiada bertepi
Siang menekan mimpi
Malam menggilas misteri
Siang bertudung awan
Malam berselimut embun
Oh, bunga mawar pesona seribu putik…
Dulu….
Tampa sengaja kusirami bebungaan
Dengan pancaran bianglala
Yang tertanam di halaman jiwa
Namun kini….
Ranggas daunnya
Luruh dahannya
Lepas rantingnya
Mawar itu tumbuh di atas batu nisan
Tiada pelipur, tiada penghibur, tiada penyubur
Pada tuhan ia berharap segara turun hujan
Berikan kesejukan pada hati
Semaikan kehidupan baru
Pada jiwa yang hampir mati.
Part II
Serbuk sarinya telah dipungut mimpi
Semerbaknya jg digotong ilusi
Bebungaan mengangguk di atas petilasan
Menempa ketulusan di atas kaku batu nisan.
Mencoba merayu diri
Serta menutupi ujung-ujung duri.
Sunyi memang tiada bertepi
Siang tertekan mimpi
Malam tergilas misteri
Wahai bunga pesona seribu putik..
D u l u . . .
Tanpa sengaja kau ku sirami
Dengan sebening air mata hati
Serta pancaran bianglala
Yang tertanam di halaman jiwa
N a m u n . . . .
K i n i . . .
Ranggas daunnya
Luruh dahannya
Lepas rantingnya
Mawar itu terkulai lemas
Tersungkur di atas batu nisan.
Part III
Tahukah kau gemuruh di dalam dada..
Ketika badai rindu menyapu sendi-sendi jiwa..
Tahukah kau gelegar di dlm dada..
Seperti halilintar menjilati kepala..
Piyarrr.....
Meriam mendentum...
Peluru mendesing..
Yang sakit... menjerit
Yang tidur... tersungkur
Terkejut meliut melecut
Sembari tengadah menatap langit
Memperhitungkan nasib
Nasib bunga yg tumbuh di atas batu nisan.
Segenggam pasir di pantai
Hilang dalam angan
Sepijar asa hilang di tengah samudera
Serajut kata kecewa tercipta..
Terlunta-lunta..
Meronta tersiksa..
Dalam lipatan cinta..
093. BAYANGANMU
Malam ini...
Kembali kuhadir menyapamu
Lewat sepotong puisi
Duhai... bayangan hidupku.
Rasa yg dulu pernah ada
Terhempas lesu di pucuk-pucuk daun
Terbawa semilir angin
Hingga samar-samar menanti seberkas cahaya.
Sedikit kisah tertulis di atas kertas
Sekilas mendekat lalu menjauh
Terus menjauh lalu mendekat
Meraba rindu yg tak mungkin tersentuh.
Bayang-bayangmu menjadi teman imajinasi
Mengikuti dalam terang
Menghantui di setiap sudut malam
Hingga mimpi tak lagi sunyi sendiri.
Sekeping hati tetap berharap
Tak ada lagi air mata yg tersiksa
Di sepanjang lorong perjalanan hidup
Tersebab jalan yg berbeda.
Tapi...
Benturan awan kelabu menghujam nadi
Merangkulmu tak mungkin terjadi
Melepasmu pasti menyayat hati
Biarpun sekujur tubuh tertusuk duri
Ku gantung dirimu di relung hati.
094. MELIPAT TATAL DUKA
Jauh sudah aku menapaki
Jalan-jalan berkerikil tajam
Biarpun tapak bengkak
Asalkan hati tiada sunyi
Karenamu.....
Tinta ini kembali kutuang
Basahi cinta ang nyaris hilang
Tebuang di gelanggang juang.
Karenamu.....
Kulipat tatal duka
Kurapikan sepihan asa
Agar tak patah senyummu
Dan tak rapuh bahagiamu.
095. PEMUJA CINTA
Getar-getar halilintar tak bercadar
Melingkar dibalik cakar
Aku laksana kayu bakar
Bediri tegak berakar
Berlari mengejar fajar
Sang pemuja cinta kini bersimpuh erat
Dalam gubuk bisu betis berlipat
Tangan hampa terangkat merapat
Mengadu pada tuhan pemberi rahmat
Tentang nostalgia yang masih bersimpul erat
Tirai-tirai mantra mendupa cipta
Menjampi asap kemenyan lalu di puja
Hingga..... Menjadi..... sekuntum bunga.
096. MENIMBANG RASA
Dalam sukma ada tanya
Pada bunga yang tak berdaya
Haruskan aku menjadi kupu-kupu
Minum dari pucuk-pucuk layu
Atau menjadi burung terbang
Hinggapi tangkai-tangkai malang
Mungkinkah dungunya fajar
Mampu melerai embun yang terlempar
Sementara aku di sini....
Menghisap sejuta damba
Memupuk asmara di halaman jiwa
Mengurung rindu di permukaan senja
Mengasah cinta pada rona bianglala
Agar...
Pesona di dasar laut
Dapat segara dipungut
Oleh dua hati
Sepasang merpati.
097.MEMBUNGKUS RIAK RASA
Bagai halilintar tersungkur di sudut malam
Yang ada hanya kelam
Yang ada hanya diam
Semuanya sunyi membisu
Dari gundukan salju
Kulontarkan teriak
Kugoncangkan hasrat
Bersama kepercayanku untukmu....
Dari pucuk-pucuk pohon pisang
Kubungkus gelora riak rasa
Yang bercerita tentang rumbai-rumbai janur kuning
Yang betengger di pintu dan jendela.
098. BALADA CINTA
(Puisi kolaborasi)
Sayang..
Dhalem ..."
Hmm ...Terasa indah saat kata itu terucap
Seolah mendutakan perasaan kita yang bahagia
Melupakan beban hidup menjeda sesaat pada akrab erat
Menjabat nyata rasa terpadu menyatu dalam senyuman
(Karya: may Hawa)
Duhai... bunga pesona seribu putik yang punya bibir merah merlumuran cinta
"Ya sayang..."
Tahukah kau bara di dalam dada??
Dia yang membakar keraguan hingga terpisah abu dengan arangnya.
Menyulut kebekuan di rona perjalanan hidup kita
Aku merasakan getaran-getaran cinta
Yang selama ini membutakan mata.
Aku telah merasakan dahsyatnya gemuruh rindu
Yang selama ini menderu menepis batin tak menentu
Sayangku..
Dhalem..
Senyummu itu...
Endapkan buih mengapung di lautan
Untuk ku jadikan titian penyebrangan
Arungi lautan kasih yang selama ini tertahan
Terjaring alis dan lentik bulu matamu
Ku bentangkan cintaku di langit biru
Melintang jadi cakrawala...
Melengkung jadi bianglala...
Karena aku tak ingin cinta ini menjadi lesu dan berdebu
Oleh kepantasan yang tak mungkin dipahami se-usap lara.
Ku asah mataku pada keningmu
Hingga menjadi pahat bermata sayu
Kuukir hatimu di setiap malam-malamku
Dengan cinta dan rindu yang menggunung
Hingga tumbuh berjuta rasa menyelubungi jantung
Sayang..
Basah hatiku...
Diguyur kata-kata bermutiara cinta.
Begitu pula
Berdesir... hatiku sayang
Terhembus angin kemesraan bersamamu.
(Karya: Zaini Dawa)
099. KUDETA CINTA
Semilir angin mengusap rasa yang pernah merajai hati
Tersirat bayangan sendu di ruang hasrat imaji
Kidung asmara mendesah nafas pilu di setiap eja
Merasakan pahitnya titian sapa diretas kudeta cinta.
Ke manakah kiranya hatimu bertandang
Menjemput seruas hasrat dalam satu pandang
Membawa serpihan-serpihan fatamorgana
Memadukan waktu dapat kupeluk erat mesra.
Aku tidak mampu melawan kehendak Tuhan
Yang menunutunku melalui isyarat kedip rembulan
Kepada hujan yang selalu bercerita
Melalui irama rintik tulus beningnya
Seperti bait-bait rinduku yang kerap berharap
Suatu saat ia akan menetes membasahi hatimu.
Aku tidak perlu menghitung detak jantugmu
Ataupun mengukur kedalaman air matamu
Semuanya bergerak tiba-tiba dan menjadi kaku
Semuanya berjalan seperti yang dinazarkan kupu-kupu.
Engkau adalah elok senja yang dikalahkan angin
Bertaut selaksa riuh gelap di bibir cakrawala langit jingga.
100. GEGGHER TAK E OCOL
Gembang se egembar e dhalem sorat
Onggu sampek sateyah paggun e rabet
Engkok tak bisa ngosot apa pole a romet
Dinah makkeh sampek'ah bileh eareppah
Eareppah cengarah jek sampek elop
Tapeh pas kabedeen tak padeh ben pangarep
Hokom adet ben tengka se adeddiagi lontorah panganggep
Duh angin...
Arapah mak tak e kabele sajujureh
Jek saonggunah gik padeh saleng ngambek
Sampek sateyah omur lah talebat
Sampek gembangah lah e petthek oreng
Ancor tang ateh
Remmuk tang dedeh
Mun engak dhek ka robenah
Mun engak dhek caretanah
Se ajelenin odhik pangistoh
Akaton tak dhek'iye'eh deddinah
Gembang se gegger paggun e pergem
Tak taoh jek bedeeh durinah
Tak taoh jek bedeeh gettanah.
Kastah gun kareh kastanah
Gembang elop tadhek bunganah
Dusah gun kareh dusanah
Agebei pangarep se tadhek buktenah
Dhekremmah gun se mintaah saporah
Ben se mabeliah misemah.
Translate
GUGUR DALAM GENGGAMAN
Gambar bunga di dalam surat
Sampai sekarang sungguh masih terwat
Aku tak kuasa menghapus apalagi meremas
Biarlah sampai kapanpun tetap berharap
Berharap selalu tetap segar
Tapi, keadaan tidak sesuai dengan harapan
Hukum adat dan tradisi telah meluh lantakan sapa
Duhai sang bayu...
Mengapa tidak engkau ceritakan sejujurnya
Bahwa sesungguhnya masih saling berharap
Hingga usia menjadi senja
Hingga bunga itu dipetik orang
Hancur hatiku...
Remuk dadaku...
Bila ku kenang raut wajahnya
Bila ku kenang ceritanya
Menjalani hidup dengan cinta
Tak terbayang akan begini jadinya
Bunga yang jatuh masih dalam genggaman
Tanpa mempredulikan durinya
Tanpa mempedulikan getahnya
Penyesalan tinggallah penyesalan
Bunga itu layu tanpa bahagia
Dosa tinggallah dosa
Memberi harapan yang tiada wujudnya
Bagaimana caranya meminta maaf
Dan mengembalikan senyum manisnya.
RAPUH
Puisi Prosais (Zaini Dawa) Bisaku tawar dalam sunyi Lenyap sapa ronta aksara Tampak rupa kurasa hilang kujaga Betapa rapuhnya aku menanggung...
-
Indonenesiaku... Merdeka oleh darah pejuang Darah yang tercecer dari ibu kota sampai hutan pedalaman Darah yang tidak dihargai ole...
-
Tetes air sisa hujan tertusuk cahaya matahari Merona pantulkan rindu yang tak wajar Fajar dan senja menjadi sebentuk senyum di sudut-sudut a...
-
Bila kutatap langit Lalu aku tidak melihatmu di sana Kulempar pandangan pada dinding kebisuan Layar mimpi terbuka Menampilkan se...